Kamis, 30 Januari 2014

“MENGINTIP” JURNALISME HIJAU



 Lihat kawan, fenomena alam di usia dunia yang tidak muda lagi ini, mulai dari berita polusi udara sampai penebangan liar kian mendengung di telinga kita hampir setiap harinya. Indonesia, negara dengan kepulauan terbanyak dunia ini tidak kalah pelik permasalahan lingkunagnnya. Menurut World Health Organization (WHO), Indonesia adalah negara dengan populasi terburuk ketiga di dunia.

Sebagaimana dilansir dalam buku Laporan Program Lingkunagn PBB (UNEP’s Year Book) 2012 menjelaskan  bahwa pada 25 tahun terakhir, 24% wilayah daratan dunia telah mengalami penurunan kualitas dan produktivitasnya. Tak lain dan tak bukan, sebabnya adalah cara kita memanfaatkan lahan dan mengolahnya, sembarangan menebang pohon sampai terjadi kerusakaan hutan, belum lagi polusi udara. Jika  hal ini tak dapat dicegah, maka bisa diperkirakan pada tahun  2030 lahan di dunia hanya berupa lahan garapan, dengan matinya para habitat darat bahkan laut, mungkin saja hijaunya pohon sudah menjadi barang langka di masa itu.

Isu-isu lingkungan itu menjadi konsen kita bersama. Apalagi mahasiswa sebagai agen of change—pembawa perubahan bangsa. Tentunya  isu-isu lingkungan ini harus dikabarkan kepada maasyarakat secara luas, agar penangannya meluas juga. Di sinilah muncul sang pilar demokrasi—pers. Pers atau media sebagai penyampai pesan atau informasi secara luas dapat mengambil perannnya dalam menyoroti khusus pada permasalahan dan solusi lingkungan saat ini. Belum lama ini lahirnya “Jurnalisme Hijau (Green Journalism)” dari rahim jurnalisme di Indonesia menjadi kegembiraan tersendiri. Ragam baru jurnalisme ini menjadi sangat berarti karena sebagi pembuktian para jurnalis yang harus peka terhadap pemasalahan di masyarakat—dalam hal ini lingkungan.

Entah kapan lahirnya jurnalisme yang lebih dikenal dengan jurnalisme lingkungan ini. Tidak ada data pasti dari buku maupun media online.  Jurnalisme ini sepertinya hadir dan terus berkembang di masyarakat memang untuk mewadahi permasalahn lingkungan, selain untuk mendukung upaya-upaya aktivis lingkungan melalui programnya selama ini,  “Go Green”.

Journo mengintip salah satu komunitas  yang sejak 2011 menganut paham Jurnalisme Hijau ini. Walaupun usinya masih muda, program yang dicanangkan mereka patut diacungi jempol, benar-benar fokus pada pendidikan kegiatan jurnalistik plus hijau—mengenai lingkungan. GeenJo, itulah nama komunitas yang berdiri pada 5 juni 2011. Komunitas ini didirikan oleh para jurnalis, aktivis lingkungan, dan para akademisi, termasuk mahasiswa. Komunitas dengan visi menyelamatkan lingkungan ini bermarkas di Aceh, Sumatra. Kamu bisa silaturahmi ke website mereka di http://green-journalist.org/?page_id=28

Nah, kalau yang satu ini yang paling tua usianya, The Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) atau Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia adalah lembaga nirlaba yang lahir pada tahun 2006 oleh 45 jurnalis. Komunitas ini bermula dari perkumulan para jurnalis itu di tepi Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatra Utara. Organisasi ini adalah oraginsasi jurnalis peduli lingkungan  pertama yang  memiliki keanggotaan tersebar di seluruh Indonesia. Organisasi dengan visi utama untuk meningkatakan kulaitas peliputan jurnalis lingkungan hidup di Indonesia melalui berbagai pelatihan, diskusi dengan pakar lingkungan, dan beasiswa bagi para jurnalis ini mendapat bantuan serta kerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Jakarta, Internews dan berbagai lembaga lainnya. Kawan Journo bisa kunjungi website mereka di www.siej.or.id . Bisa dibilang inilah leader and founder dari paham “Jurnalisme Hijau”.

Lebih dekat, kita ‘intip’ komunitas di kampus tentangga, baru-baru ini Suara Mahasiswa Universitas Indonesia (SUMA UI) mengadakan sebuah acara peliputan jurnalistik yang melibatkan mahasiswa se-Jabodetabek  dengan mengusung tema : “Jurnalisme Lingkungan :Menangkap Isu Lingkungan di SekitarKampus”  yang bekerja sama dengan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dan MAJALAH JEJAK (Mapala UI).

Jika kita lihat lebih mendalam—bukan hanya mengintip, banyak komunitas di banyak daerah sudah menganut paham jurnalisme hijau ini. Apalagi mahasiswa yang turut serta turun ke lapanganan dalam menggunakan paham  baru  ini. Sungguh nantinya, kegiatan melipuat dan mengabarkan berita oleh para jurnalis tidak hanya melulu soal politik yang tak ada habis-habisnya, tapi juga pada permasalahan lingkungan yang kian memprihatinkan.

Sebagaimana Athifa Rahmah, mahasiswi semester lima konsentrasi jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  menyatakan jurnalisme hijau harus hadir dengan mendepankan isu-isu mengenai masalah-masalah lingkungan saat ini, agar masyarakat awam bisa lebih peduli terhadap lingkungannya. “Misalnya permasalahan penebangan hutan, yasudah liput dan kabarkan masalah itu dengan  data yang valid, dan juga bisa didukung dengan petisi. Saya berharap dengan adanya jurnalisme hijau ini bisa menganalisa masalah-masalah lingkungan namun disertai dengan solusinya, agar tidak hanya asal kritik saja”, jelas Athifa, mahasiswi yang juga aktif di Komunitas Mahasiswa Pecinta Lingkungan Hidup dan Kemanusiaan Kembara Ibnu Batutta (KMPLHK RANITA) UIN Jakarta ini.

Agaknya ini bukan hanya harapan Athifa Rahmah, tapi juga harapan kita semua. Kawan Journo yuk ah kita lebih  peduli lingkungan kita, dengan jurnalisme hijau atau bukan yang penting berdampak baik bagi lingkungan. Dari hal kecil,  mulai sekarang buang sampah pada tempatnya lah, kita tunjukan sifat berbudi bagi lingkungan kita. Semoga. Duh,  Journo jadi ingat lirik lagunya Om Ebiet G. Ade deh:

Mungkin Tuhan mulai bosan... melihat tingkah kitayang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa...
Atau alam mulai enggan, bersahabat dengan kita... Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang...

Dari Berbagai Sumber

Reporter: Fauziah Muslimah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar