Jumat, 31 Januari 2014

Membenahi Perparkiran UIN Jakarta, Tak Semudah Membalik Telapak Tangan


Parkiran motor semrawut, keamanan masih diragukan, dan sistem manual masih diterapkan. Tidak berlebihan, harus ada yang dibenahi dari penataan perparkiran kampus UIN Jakarta, walaupun tak semudah membalik telapak tangan.
Potret buruk mengenai penataan perparkiran dapat ditemui di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedikitnya 6000 motor dan 200 mobil lalu-lalang setiap harinya ke kampus. Tetapi, hal itu tidak dibarengi dengan lahan parkir yang memadai. Alhasil, parkiran semrawut terlihat di sisi jalan setiap fakultas yang berada di kampus satu tersebut. Hal ini menjadi pekerjaan rumah yang harus dipikul pihak rektorat kampus selaku penanggung jawab UIN Parking yang sempat menggunakan jasa DumParking pada tiga tahun yang lalu itu.

Bertahun-tahun memakai jasa pengelolaan parkir perusahaan luar, membuat pihak rektorat mengernyitkan dahi. Banyak keluhan yang mereka terima silih berganti dari mahasiswa, mulai dari masalah pencurian sampai biaya parkir. Ketika ditelaah, pihak rektorat menemukan kendala yang memberatkan mahasiswa.  Pihak rektorat dari bagian umum kampus UIN Jakarta pun mengambil alih sistem pengelolaan parkir tersebut.

Pada masa UIN Parking berjalan, persoalan lain pun muncul. Sistem manual yang digunakan dalam mengelola parkiran dinilai tidak efektif bagi kampus seluas UIN Jakarta. Hal itu dapat dibuktikan dengan banyaknya laporan kehilangan dari mahasiswa, mulai dari helm sampai motor yang raib di kampus mereka sendiri.

Menguras Emosi
Emosi seperti terkuras. Mungkin itulah yang dirasakan Ahmad Algifari (20), mahasiswa jurnalistik semester lima. Motornya raib di area parkiran dekat Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (Fidkom) UIN Jakarta.

Motor Ahmad raib sekitar pukul 11.30 di parkiran atas di depan (Fidkom). Tapi, berbeda dengan Anas, Ahmad tidak lupa mengambil kuncinya. Semua kelengkapan seperti karcis dan STNK pun dia yang menyimpan. Saat jam istirahat tiba dan dia ingin mengambil helm untuk diamankan karena takut hujan, motornya sudah hilang. Ahmad pun langsung melapor ke petugas parkir dan berlanjut ke Kapolsek Ciputat.

“Kasus-kasus yang terjadi memang di antaranya karena faktor kelalaian petugas, saya simpulkan saja jika sistem yang digunakan masih manual, hal apa pun bisa terjadi.”, jelas Rahmat Hidayat, koordinator lapangan UIN Parking. Rahmat menambahkan, petugas parkir juga mengalami kesulitan untuk mengontrol lahan parkir yang luas itu. 17 petugas parkir yang dipekerjakan di UIN Jakarta dan harus dibagi dua dengan wilayah parkirnya kampus satu dan dua. Hal itulah yang menyulitkan para petugas mengawasi keseluruhan lahan parkir yang ada.

Solusi Yang Diajukan
“Batasi saja penggunaan motor di kampus UIN ini, agar kampus bisa nyaman dan tidak ada polusi, kalau bisa disediakan parkiran sepeda,” usul Tridiwa Arief, mahasiswa kesejahteraan sosial semester tiga.
Berbeda dengan Tridiwa, Anastasia berharap lahan parkir dengan gedung berlantai segera dibangun di kampus UIN Jakarta. Menurutnya, jika area parkir berada pada satu gedung dengan sistem komputer, maka kasus pencurian sangat minim terjadi dan mahasiswa merasa aman dan nyaman untuk menggunakan fasilitas kampus. 

Kondisi penataan perparkiran kampus yang masih menuai masalah ini juga sedang menjadi konsentrasi pihak rektorat yang berharap system tidak memberatkan mahasiswa. Muhammad Ali Meha, Kepala Bagian Umum Rektorat UIN Jakarta mengatakan pihaknya sudah mencanangkan system baru yang semoga tidak memberatkan mahasiswa. “Pembangunan gedung parkiran setinggi tujuh lantai akan kami bangun mulai Maret 2013, rencananya lantai satu sampai empat menjadi lahan parkir dan lantai lima sampai lantai tujuh menjadi gedung baru perpustakaan utama,” jelas Muhammad Ali Meha.

Muhammad Ali Meha juga menambahkan, jika system baru pengelolaan perparkiran dengan system mesin atau komupter ditakutkan akan memberatkan mahasiswa. Hal itu dikarenakan, waktu dan antrian panjang akan terjadi saat waktu masuk kelas yang keluar kelas yang bersamaan para mahasiswa. Oelh karena itu, pihak rektorat masih menganalisa dan menimbang kembali system yang akan diberkalukan nanti bagi perparkiran UIN Jakarta yang tidak memberatkan mahasiswa. [] Fauziah Muslimah


Kamis, 30 Januari 2014

Bir Pletok, Bir Sehat Khas Betawi

Oleh: Fauziah Muslimah*

Akhir pekan yang cerah menjadi waktu yang asyik untuk menikmati pemandangan Setu Babakan, Jagakarsa Jakarta Selatan. Banyak pengunjung yang datang untuk sekedar merasakan kuliner dan jajanan di sekitar Setu. Mata seakan dimanjakan dengan pemandangan Setu dan jika ingin memanjakan lidah, silahkan datang di kedai makanan pilihan di sekitarnya.

Tapi, ada yang berbeda di salah satu kedai makanan milik Asenah (45).  Terlihat tiga muda-mudi sedang pesta bir. Mereka asyik bersulang, anehnya tidak ada yang menegur atau melarang pesta minum-minum mereka siang itu, Minggu (20/5).

“Setiap sabtu atau minggu banyak yang minum bir di sini, ya kalau lagi ramai saya bisa menjual 100 bir dalam sehari”, jelas Asenah pemilik kedai tersebut. Jangan kira, di sini tempat peredaran dan pesta minum-minuman keras. Bir yang dijual Asenah sama sekali tidak memabukkan, justru menyehatkan. Ya, bir ini memang menyehatkan. Pastas saja tiga muda-mudi tadi, asyik nge-bir tanpa dilarang atau diusir oleh para pengunjung sekitar Setu Babakan di perkampungan budaya Betawi itu.

Sudah satu jam, Zahroh (20) dan dua temannya menikmati bir yang sudah setengah botol mereka habiskan bersama. Bir itu dia nikmati dengan batu es yang menyegarkan suasana Setu di antara pepohonan yang sepoi-sepoi. “Sambil makan gado-gado kesukaan saya, enaknya ya minum bir pakai es batu biar lebih segar,” tuturnya sambil sesekali meminum bir dalam gelas. Benar saja, dia dan dua temannya tidak mabuk, padahal sudah setengah botol ukuran satu liter habis mereka tegak.

Bir berwarna merah itu menjadi minuman khas Betawi. Minuman khas yang tidak seperti namanya yang sering indentik dengan alkohol dan memabukkan. Bir khas Betawi ini lain, terbuat dari rempah-rempah yang menyehatkan badan, dan sama-sekali tidak memabukkan. Gado-gado sudah habis dilahap Zahroh, dan bir di depannya sudah habis satu botol. Terbukti, tidak ada yang mabuk setelah minum bir berwarna merah itu.


Suasana Rumah makan di Setu Babakan
Foto: Koleksi Pribadi 

“Namanya bir pletok, saya memang asli Betawi. Keluarga saya juga suka minum ini, kalau ada acara besar seperti nikahan atau arisan, keluarga saya pasti menghidangkan bir ini untuk para tamu”, ungkap Zahroh. Benar, hanya masyarakat Betawi yang dalam acara pernikahan atau arisan menghidangkan bir untuk para tamunya. Bir pletok, itulah nama bir yang sedari tadi diminum smabil menikmati makan siang oleh Zahroh dan kawan-kawannya.

Jangan terkecoh dengan namanya, bir yang satu ini dijamin tidak memabukkan. Aroma jahe dan kapulaga yang wangi, rempah-rempah khas Betawi sedari tadi tercium dari botol ukuran satu liter itu. Meja berukuran sedang di kedai Asenah itu berjejer rapi botol-botol bir pletok membentuk formasi lima. Asenah mengaku selalu saja ada yang membeli birnya yang dijual seharga Rp 15.000, 00 per satu liter botol.  Terlebih saat akhir pekan karena saat itu pasti Setu Babakan ramai pengunjung.

Budaya Betawi yang semakin tergusur, seperti tanah ereka yang sekarang berubah menjadi gedung-gedung bertingkat di jantung kota Jakarta. Karena itulah, bir pletok khas Betawi ini semakin sulit ditemukan. Barangkali, ada hanya pada pameran atau acara-acara besar terutama dalam menyambut ulang tahun kota Jakarta. Tapi, jangan khawatir di perkampungan Budaya Betawi Setu Bakanan ini bir pletok tidak langka, selain banyak penjualnya, produsennya pun tinggal di sekitaran Setu Babakan.

Tengok saja rumah di belakang Setu Babakan dengan gerbang dan cat serba hijau, menjadi ciri khas kediaman Rosmayanti (40), produsen bir pletok selama puluhan tahun. Kesibukannya memproduksi bir pletok menyita waktu ibu rumah tangga yang hanya lulus sekolah dasar ini, seperti ditemui Kamis (19/4) Rosmayanti sedang memproduksi bir pletok pesanan pelanggannya.

Raut wajahnya dibanjiri keringat, rasa letih terpancar di sana. Konsentrasinya tertuju pada kerja tangan yang mengaduk-aduk racikan air di dalam panci panas berisi cairan merah. Sore hari  ditemani semilir pepohonan belakang Setu Babakan, Rosmayanti sedang asyik membuat bir. Bir berwarna merah itu menjadi semakin indah dilihat mata saat dipadukan dalam botol-botol berukuran satu liter yang berjejer rapi di pojok dapurnya. Cekatang sekali dia menuangkan cairan bir dalam panci ke dalam satu per satu botol. Sudah puluhan botol berjejer di atas meja itu. “Saya sudah lama produksi bir pletok. Produksi meningkat hanya pada waktu tertentu, seperti sekarang ada yang pesan puluhan botol ini untuk acara pameran pembukaan pusat perbelanjaan di Cibubur,” jelas Rosmayanti sambil menyeka keringat di dahinya.

Selain memproduksi pesanan untuk acara-acara tertentu, Rosmayanti adalah produsen bir pletok yang sudah diakui kemampuannya oleh para penjual bir pletok di sekitaran kedai jajanan di kawasan Setu Babakan, seperti kedainya Asenah tadi. Menutur Asenah, para penjual di sini lebih suka dengan merk bir pletok buatan Rosmayanti karena rasanya lebih enak, dan lebih menghangatkan tenggorokan bukan malah membuat panas tenggorokan seperti bir-bir lain.



Indonesia Book Fair 2011: Karena Buku Menginspirasi

Feature Agenda


Buku adalah jendela dunia. Inilah peribahasa yang tepat diperuntukkan kepada seluruh buku yang ada di pameran Istora Senayan yang membuka jendela-jendela pengetahuan para pengunjungnya, Minggu (27/11). Langit Jakarta menunjukkan terik panasnya, kawasan gedung-gedung di Gelora Bung Karno terus bercengkrama dengan para pengunjung masing-masing kepentingan.

Begitu pun Istora Senayan, gedung olahraga berbasis indoor yang berkapasitas ribuan penonton ini sedang menjadi taman bagi para pecinta buku.  Pasalnya di sini ada pameran buku yang diselenggarakan oleh IKAPI(Ikatan Penerbit Indonesia) dan Perpustakaan Nasional. Pameran yang dilaksanakkan setiap tahunnya ini berlangsung sangat meriah dengan mengikutsertakan banyak penerbit terkenal di Indonesia.

Gedung yang kemarin digunakkan untuk menampilkan cabang olahraga bulu tangkis oleh hajatan besar Sea Games ini memberikan ruang yang luas bagi para penerbit untuk menjajankan buku-bukunya. Memasuki kawasan pintu utama Istora Senayan ada sebuah papan besar yang berisi peta kawasan penerbit dan panggung dimana acara-cara dilaksanakkan, termasuk panggung utama sebagai pusatnya.

Pameran bernama Indonesia Book Fair ini juga memberikan diskon buku-buku bagi para pembeli. Seperti dijumpai pada penerbit Gramedia Grup. Salah satu penerbit besar ini menampilkan banyak buku yang diperjualbelikan dengan diskon mulai dari dua puluh persen dan bagi pembelian sampai dua ratus ribu, panitia telah menyiapkan diskon dan buku gratis.

Bagi pengunjung yang ingin melihat penampilan para penulis yang melakukkan bedah bukunya, bisa langsung datang ke panggung utama. Panggung inilah yang menjadi pusat acara pameran dengan slogan Book is Inspiring. Dengan slogan ini, panitia pelaksana memberikan acara dan wadah bagi para pengunjung dan pencinta buku agar bisa mendapatkan inspirasi-inspirasi dari buku-buku yang ada.
Seperti pada Minggu (27/11) riuh pengunjung memadati selaksar bangku penonton di panggung utama. Hari itu acara puncaknya adalah penampilan Ahmad Fuadi sebagai penulis terkenal dari trilogi buku Negeri 5 Menara yang akan menampilkan Launcing Trailer Film bersama Salman Aristo sebagai produser dan penulis skenarionya. Acara yang berakhir pada pukul 14.00 ini juga menampilkan para pemain filmnya, terlihat di antara panggung yang berlatar kuning itu, Ikang Fauzi dan Lulu Tobing.

Selain acara-acara bedah buku tersebut, Indonesia Book Fair tahun ini juga menghadirkan para penerbit dari luar negeri di kawasan Asia seperti SPBA (Singapore Book Publishers Association), MBKM (Majelis Buku Kebangsaan Malaysia), dan juga ada penerbit dari Iran yaitu Kanoon.

Pameran yang berlangsung mulai tanggal 24 november dan berakhir pada 4 desember ini juga memberikan fasilitas bagi para pembaca dan pengunjung yang ingin memberikan naskahnya agar diterbitkan untuk di edit oleh pada editor masing-masing penerbit. Fasilitas ini dinamakan Bursa Naskah. Bursa naskah ini didukung oleh banyak penerbit peserta Indonesia Rights Fair, yaitu seperti Tiga Serangkai, Pustaka Mandiri, Republika, dan Penerbit Bumi Aksara

Untuk mendukung berkembangnya pendidikan dan minat baca masyarakat Indonesia, benarlah jika acara Indonesia Book Fair ini sangat baik dan bermanfaat, seperti yang dituturkan Hira Prawira pengunjung asal Bekasi, “Indonesia Book Fair ini bagus, karena selain diadakannya setahun sekali, juga menjadi ajang mendapatkan pengetahuan. Bukunya murah, juga ada workshop-workshop yang memberikan pengetahuan buku best seller bagi pengunjung.”

Selain itu, pameran ini juga menampilkan acara bedah buku-buku best seller dari beberapa penerbit, misalnya ada acara talkshow Indonesia Mengajar bersama para pengajar muda dan Anis Baswedan selaku pemimpin organisasi yang telah menjadi salah satu tonggak kebangkitan pendidikan di Indoesia. Acara ini juga membahas tentang buku dengan judul yang sama yang berisikan tentang kisah-kisah perjuangan para pengajar muda yang membaktikan dirinya untuk pendidkkan di pelosok negeri ini.

Dari kesemuanya, fasilitas yang sudah diberikan para panitia baik. Akan tetapi,  masih ada kekurangan di beberapa aspeknya. Seperti tempat sholat dan toilet yang kurang memadai kuantitasnya bagi para pengunjung yang membludak apalagi pada hari minggu (4/12) yang menjadi hari  terakhir Indonesia Book Fair ini.

Selain itu publikasi tentang acara kurang menyeluruh, seperti pada Sabtu (26/11) kemarin yang diliburkan karena ada acara pernikahan Ibbas Putra Presiden RI dengan Alya. Karena publikasi yang kurang, banyak para pengunjung yang terlanjur datang dibuat kecewa karena diliburkan sehari acara pamerannya.

“Semoga kedepannya, IBF ini bisa lebih baik lagi fasilitas dan tempat yang strategis, juga publikasi yang baik. Agar para pengunjung tidak dibuat kecewa”, jelas Sri Wahyuni pengunjung Indonesia Book Fair dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Fauziah Muslimah (1110051100059)

Jurnalistik III B

Soto Kudus Kauman, Gratis Untuk Ibu Hamil



Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Inilah peribahasa yang tepat ditujukan pada bisnis Soto Kudus Kauman. Bisnis yang dirintis oleh Bapak Ludi Priyanto (31) ini memperoleh penghasilan satu juta per hari, banyak pelanggan, dan mempunyai cabang yang tersebar di sekitaran Jabodetabek. Selain itu bisnis ini menuai berkah tersendiri karena ada program gratis selamanya bagi ibu hamil.

Selain itu program gratis juga diberlakukan pada hari jumat pukul 15.00-16.00. Nama Kauman sendiri adalah singkatan dari Kaum Yang Beriman, maksudnya bisnis ini memang berbeda dengan bisnis rumah makan yang lainnya. Soto Kudus ini adalah bisnis berasaskan hati nurani, tidak memperhitungkan untung rugi karena mempunyai jiwa sosial tinggi sebagai perwujudan dari orang beriman.

“Prinsip bisnis Soto Kudus Kauman ini berjalan dengan hati nurani, sampai saat ini kami malah menuai berkah tersendiri dengan adanya program gratis ini, sehingga bisa lebih memperkenalkan kepada masyarakat kuliner khas Kota Kudus yaitu soto.”, tutur Andri (25) ketua pegawai harian Soto Kudus Kauman cabang Gandul, Minggu (16/10).

Soto Kudus, tidak berbeda dengan soto-soto yang lain. Ciri khasnya adalah, soto ini berisikan ayam kampung, bukan daging atau babat seperti pada soto Betawi khas Jakarta. Kebiasaan masyarakat menyantap kuliner ini adalah langsung dicampur dengan nasi. Rumah makan Soto Kudus Kauman tidak hanya menyediakan kuliner utama, tapi juga ada bebek dan ayam goreng. Masing-masing porsi berkisar pada harga Rp 17.000.

Dengan penghasilan satu juta per hari, bisnis ini semakin maju. “Soto Kudus Kauman membuka cabang dimana-mana. Seperti Sawangan, Ciputat, sampai Tanggerang juga ada.”, jelas Andri pegawai yang baru sembilan bulan bekerja di rumah makan ini.

Prinsip sosial bisnis inilah yang menjadi ciri khas, selain cita rasa yang disuguhkan kuliner ini nikmat, program gratis juga menjadi daya tarik bagi para pelanggan setianya. “Kami tidak pernah mempersoalkan masalah untung rugi, yang penting hati nurani kami berjalan dan program gratis selamanya bagi ibu hamil ini bertujuan sebagai kontribusi agar para janin penerus bangsa mendapatkan gizi dan makanan yang manfaat.”, tambah Andri.

Selain pencapain tadi, Soto Kudus Kauman juga mendapatkan penghargaan sebagai juara pada ajang Festival Makanan Khas Nusantara di Hotel JW Marriot Jakarta tahun kemarin. Selain itu, Soto Kudus Kauman juga hadir di tengah-tengah para tamu undangan di Istana Wakil Presiden Republik Indonesia, Bapak Budiyono.

Sebagai panganan khas Kota Kudus, soto ini menjadi lahan bisnis yang diminati. Pendiri bisnis ini sudah menyediakan lahan penawaran bisnis gabungan dengan investasi dan keuntungan menjanjikan. Salah satu cabangnya yaitu di Gandul, Cinere yang baru hadir sembilan bulan, sudah banyak tawaran bisnis dari banyak pelanggan yang datang.

Untuk pengembangan bisnis Soto Kudus, Bapak Ludi Priyatno memberikan penawaran kerja sama dengan pihak lain. Bentuk kerja samanya adalah waralaba. Investasi waralaba yang ditawarkan sebesar Rp 50 juta dengan keuntungan Rp 7 juta per bulan. Penanaman dana itu bisa balik modal antara 8-10 bulan.

Fauziah Muslimah
1110051100059

Jurnalistik III B

Hidup Dan Mengais Rezeki Dengan Sampah

Feature Human Interest

           
Senja Jakarta datang di peraduannya. Hiruk pikuk manusia belum mau terhenti walaupun langit Jakarta sudah mulai menguning. Rutinitas hidup yang sudah dipilihkan Tuhan atau memang tidak diusahakan untuk lebih dari sekedar makan karena hidup memang pilihan. Begitu juga dengan Rusdi (13). Anak seorang pemulung di kawasan kampong Gunung Balong Jakarta Selatan.

Sehari-hari dia hidup di antara lautan, bukan lautan nan indah seperti laut Kuta di Bali, atau pasir putih nan indah di sekelilingnya. Lautan sampah. Rusdi dan warga kampung yang lain sudah hidup bertahun-tahun di sini. Hidup di lautan sampah yang datang dari pelosok rumah nan megah milik penghuni kota Jakarta. Sungguh miris, karena di sekelilingnya ada beberapa gedung mewah tegak berdiri.

Rusdi yang hanya ikut pendidikan bagi para pemulung dan anak jalanan itu setiap harinya membantu ayahnya menimbang hasil sampah-sampah yang bisa bernilai jual, seperti kardus, dan bekas botol minuman kemasan. Penghasilan yang dia dapat juga tidak seberapa.

Untuk mensiasatinya, keluarga Rusdi membuka warung kecil-kecilan di depan rumahnya yang hanya terdiri dari dua kamar. Penghasilan dari warung ini, setidaknya bisa mencukupi kebutuhan Rusdi dan adik perempuannya (5) mengikuti sekolah anak jalanan bernama Sanggar Anak Alam.

Kehidupan para warga di lapak sampah ini tidak berhenti sedari pagi. Mulai pagi hari mereka mengais rezeki dengan “berdinas”. Itulah sebutan pekerjaan mereka, yang adalah bahasa tutur warga penghalusan dari kata memulung. Tidak Rusdi atau bahkan warga yang lainnya berharap hidup seperti ini. Akan tetapi mereka tetap menjalaninya dengan ikhlas dan penuh tanggung jawab.

Ini terlihat pada akhir senja hari, Rusdi dan beberapa warga tetap asyik dengan pekerjaannya, mengolah sampah. Sebagian ada yang menimbang-nimbang sampah yang bisa dijual, dan sebagian yang lain mengumpulkan sampah dari gerobak-gerobak yang berjejer rapi di depan tumpukan sampah.
Biasanya Rusdi memulung di daerah sekitar terminal Lebak Bulus. Dia berangkat dari pukul 13.00 siang dan menyelesaikan  tugasnya hingga pukul delapan malam hanya demi mengais keuntungan dari sampah-sampah yang dibuang para warga Jakarta.

Penghasilan Rusdi tidak banyak, hanya lima ratus ribu sebulan. Itu pun dia dan keluarganya cukupkan untuk membayar hutang dan rumah kontrakkan dua kamar yang ditempatinya sekarang. “Hidup di sampah-sampah seperti ini siapa yang mau. Tapi mau bagaimana lagi, saya ikut orang tua saja. Terima nasib”, tutur Rusdi yang sekarang menginjak sekolah non formal setingkat dua SMP.
Kampong Gunung Balong, kampong lapak sampah di kawasan Cilandak Jakarta Selatan. Kampung ini ditinggali oleh puluhan keluarga yang mata pencahariannya pemulung dan pengamen. Warga di sini terlihat sudah kebal dengan bau-bau tidak sedap yang hadir di lingkungan rumah-rumah mereka. Waluapun mereka tahu ini tidak baik untuk pernafasan, apalagi bagi anak-anak.

Hidup di tempat yang untuk menghirup udara segar saja bagaikan mimpi ini memang sulit. Akan tetapi, terlihat anak-anak balita tetap asyik bermain dengan sampah-sampah apa saja yang bisa mereka mainkan. Mereka tidak gusar dengan bau yang ada, lalat-lalat dan kucing-kucing yang juga ikut menemani acara bermain mereka di lapak sampah-sampah itu.

Inilah potret kemiskinan bangsa kita. Siapa yang salah jika kemiskinan sudah menjadi barang yang selalu ada dan dapat kita lihat dimana-mana.seperti kampung Gunung Balong ini. Peran pemerintah seharusnya bisa lebih aktif lagi demi memberantas kemiskinan sampai ke akar-akarnya.
“Mudah-mudahan di Indonesia tidak ada lagi orang miskin dan pemerintah bisa lebih tegas lagi memberantas kemiskinan”, curahan harapan Rusdi anak pemulung yang bercita-cita menjadi pemain sepak bola itu. Tidak hanya Rusdi, tetapi juga harapan seluruh rakyat miskin di Negara ini yang mempunyai Undang-Undang Dasar pasal 34, berisikan bahwa orang miskin dan anak-anak terlantar menjadi tanggungan Negara.

Fauziah Muslimah (1110051100059)
Jurnalistik III B


KRS Manual Untuk Mahasiswa Jurnalistik




FIDKOM—Mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik mengawali perkuliahan Senin (12/09) dengan jadwal dan absensi manual. Hal ini dipicu adanya keterlambatan  pengisian Kartu Rencana Studi (KRS) pada sistem AIS (Academic Information System). Ketua Mahasiswa Jurnalistik kelas B semester tiga, Hira Prawira menegaskan, informasi keterlambatan ini juga ia dapat secara manual, sehingga pemberitahuan kepada teman-teman yang lain hanya melalui pesan singkat telepon selular (jarkom). AIS, sistem informasi yang baru direalisasikan tahun kemarin ini menuai kebingungan bagi para mahasiswa Jurnalistik. Pasalnya mahasiswa dari jurusan dan fakultas lain sudah bisa mengisi KRS sejak dua bulan lalu dengan tenggang akhir juli hingga agustus yang bertepatan pada masa liburan semester genap.

“Saya pribadi jadi dibuat bingung, karena seharusnya KRS sudah bisa diisi akhir juli kemarin dan saat itu pada masa-masa liburan, saya di Kebumen jadi tidak bisa datang ke kampus mencari informasi masalah ini. Belum ada kepastian saat itu  mata kuliah yang akan saya ikuti di semester ini, sehingga awal perkuliahan sekarang saja jadwal dan absensi di dosen masih manual, sangat mengecewakan,” tutur Dini Hari Nizmawati, mahasiswi Jurnalistik asal Kebumen.

Keterlambatan ini juga mengakibatkan belum disetujuinya mata kuliah masing-masing semester oleh dosen terkait, sedangkan perkuliahan sudah dimulai tapi KRS belum disetujui dan jadwal kuliah ada yang diralat. “Karena memang adanya kesalahan dari pihak PUSKOM (Pusat Komunikasi) dalam meng-input data-data  mata kuliah dan nilai mahasiswa Jurnalistik. Jadi ketika dari pihak jurusan dan Fakultas (Dakwah dan Komunikasi) sudah menyerahkan data-data tersebut, pihak Puskom tidak sejalan, sehingga adanya keterlambatan yang tidak diharapkan ini,” jelas Ibu Ade Rina selaku Sekretaris Konsentrasi Jurnalistik langsung di kantornya, Jumat(16/09).

Informasi terakhir dari pihak kampus, perbaikan KRS bisa dilakukan mulai tanggal 12 sampai 24 September. “Untuk itu, kami menghimbau kepada para mahasiswa untuk segera mengisi KRS di AIS agar segera divalidasi oleh dosen Pembimbing Akademik dan akan ditindaklanjuti kemudian oleh pihak jurusan secepatnya pada tanggal 19 September,” tambah  Sekretaris Konsentrasi Jurnalistik itu.
Dari pihak mahasiswa yang dibuat bingung pun, berharap agar keterlambatan kinerja AIS ini yang terkahir, seperti yang dikatakan oleh Maesaroh, “saya berharap  masalah ini menjadi yang pertama dan terakhir. Kedisipilinan dan ketelitian dari pihak Puskom dan Jurusan harus diperhatikan, agar tidak terjadi kesalahan dan keterlambatan  lagi.”

Dewasa ini, AIS adalah sistem yang baru direalisasikan tahun pelajaran kemarin, sehingga masih banyak kinerjanya yang tidak sejalan dengan baik, apalagi jika tidak ditunjang oleh tenaga yang ahli.  “AIS ini kan sistem online, jadi masih diperlukan adaptasi penggunaannya, sehingga upaya apapun untuk menunjang kinerjanya harus direalisasikan dengan baik. Dari pihak kami sendiri ke depannya akan lebih memberikan informasi kepada mahasiswa agar tidak kembali dibuat repot dan bingung jika adanya keterlambatan seperti ini. Atau ke depannya akan ada website khusus informasi bagi mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik yang mewadahi mereka mendapatkan informasi dengan mudah, tapi di sisi lain, hingga saat ini belum adanya staf ahli untuk teknologi informasi di jurusan”, jelas Ibu Ade Rina.


(Fauziah Muslimah/1110051100059/ Jurnalistik III B)

“MENGINTIP” JURNALISME HIJAU



 Lihat kawan, fenomena alam di usia dunia yang tidak muda lagi ini, mulai dari berita polusi udara sampai penebangan liar kian mendengung di telinga kita hampir setiap harinya. Indonesia, negara dengan kepulauan terbanyak dunia ini tidak kalah pelik permasalahan lingkunagnnya. Menurut World Health Organization (WHO), Indonesia adalah negara dengan populasi terburuk ketiga di dunia.

Sebagaimana dilansir dalam buku Laporan Program Lingkunagn PBB (UNEP’s Year Book) 2012 menjelaskan  bahwa pada 25 tahun terakhir, 24% wilayah daratan dunia telah mengalami penurunan kualitas dan produktivitasnya. Tak lain dan tak bukan, sebabnya adalah cara kita memanfaatkan lahan dan mengolahnya, sembarangan menebang pohon sampai terjadi kerusakaan hutan, belum lagi polusi udara. Jika  hal ini tak dapat dicegah, maka bisa diperkirakan pada tahun  2030 lahan di dunia hanya berupa lahan garapan, dengan matinya para habitat darat bahkan laut, mungkin saja hijaunya pohon sudah menjadi barang langka di masa itu.

Isu-isu lingkungan itu menjadi konsen kita bersama. Apalagi mahasiswa sebagai agen of change—pembawa perubahan bangsa. Tentunya  isu-isu lingkungan ini harus dikabarkan kepada maasyarakat secara luas, agar penangannya meluas juga. Di sinilah muncul sang pilar demokrasi—pers. Pers atau media sebagai penyampai pesan atau informasi secara luas dapat mengambil perannnya dalam menyoroti khusus pada permasalahan dan solusi lingkungan saat ini. Belum lama ini lahirnya “Jurnalisme Hijau (Green Journalism)” dari rahim jurnalisme di Indonesia menjadi kegembiraan tersendiri. Ragam baru jurnalisme ini menjadi sangat berarti karena sebagi pembuktian para jurnalis yang harus peka terhadap pemasalahan di masyarakat—dalam hal ini lingkungan.

Entah kapan lahirnya jurnalisme yang lebih dikenal dengan jurnalisme lingkungan ini. Tidak ada data pasti dari buku maupun media online.  Jurnalisme ini sepertinya hadir dan terus berkembang di masyarakat memang untuk mewadahi permasalahn lingkungan, selain untuk mendukung upaya-upaya aktivis lingkungan melalui programnya selama ini,  “Go Green”.

Journo mengintip salah satu komunitas  yang sejak 2011 menganut paham Jurnalisme Hijau ini. Walaupun usinya masih muda, program yang dicanangkan mereka patut diacungi jempol, benar-benar fokus pada pendidikan kegiatan jurnalistik plus hijau—mengenai lingkungan. GeenJo, itulah nama komunitas yang berdiri pada 5 juni 2011. Komunitas ini didirikan oleh para jurnalis, aktivis lingkungan, dan para akademisi, termasuk mahasiswa. Komunitas dengan visi menyelamatkan lingkungan ini bermarkas di Aceh, Sumatra. Kamu bisa silaturahmi ke website mereka di http://green-journalist.org/?page_id=28

Nah, kalau yang satu ini yang paling tua usianya, The Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) atau Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia adalah lembaga nirlaba yang lahir pada tahun 2006 oleh 45 jurnalis. Komunitas ini bermula dari perkumulan para jurnalis itu di tepi Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatra Utara. Organisasi ini adalah oraginsasi jurnalis peduli lingkungan  pertama yang  memiliki keanggotaan tersebar di seluruh Indonesia. Organisasi dengan visi utama untuk meningkatakan kulaitas peliputan jurnalis lingkungan hidup di Indonesia melalui berbagai pelatihan, diskusi dengan pakar lingkungan, dan beasiswa bagi para jurnalis ini mendapat bantuan serta kerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Jakarta, Internews dan berbagai lembaga lainnya. Kawan Journo bisa kunjungi website mereka di www.siej.or.id . Bisa dibilang inilah leader and founder dari paham “Jurnalisme Hijau”.

Lebih dekat, kita ‘intip’ komunitas di kampus tentangga, baru-baru ini Suara Mahasiswa Universitas Indonesia (SUMA UI) mengadakan sebuah acara peliputan jurnalistik yang melibatkan mahasiswa se-Jabodetabek  dengan mengusung tema : “Jurnalisme Lingkungan :Menangkap Isu Lingkungan di SekitarKampus”  yang bekerja sama dengan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dan MAJALAH JEJAK (Mapala UI).

Jika kita lihat lebih mendalam—bukan hanya mengintip, banyak komunitas di banyak daerah sudah menganut paham jurnalisme hijau ini. Apalagi mahasiswa yang turut serta turun ke lapanganan dalam menggunakan paham  baru  ini. Sungguh nantinya, kegiatan melipuat dan mengabarkan berita oleh para jurnalis tidak hanya melulu soal politik yang tak ada habis-habisnya, tapi juga pada permasalahan lingkungan yang kian memprihatinkan.

Sebagaimana Athifa Rahmah, mahasiswi semester lima konsentrasi jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  menyatakan jurnalisme hijau harus hadir dengan mendepankan isu-isu mengenai masalah-masalah lingkungan saat ini, agar masyarakat awam bisa lebih peduli terhadap lingkungannya. “Misalnya permasalahan penebangan hutan, yasudah liput dan kabarkan masalah itu dengan  data yang valid, dan juga bisa didukung dengan petisi. Saya berharap dengan adanya jurnalisme hijau ini bisa menganalisa masalah-masalah lingkungan namun disertai dengan solusinya, agar tidak hanya asal kritik saja”, jelas Athifa, mahasiswi yang juga aktif di Komunitas Mahasiswa Pecinta Lingkungan Hidup dan Kemanusiaan Kembara Ibnu Batutta (KMPLHK RANITA) UIN Jakarta ini.

Agaknya ini bukan hanya harapan Athifa Rahmah, tapi juga harapan kita semua. Kawan Journo yuk ah kita lebih  peduli lingkungan kita, dengan jurnalisme hijau atau bukan yang penting berdampak baik bagi lingkungan. Dari hal kecil,  mulai sekarang buang sampah pada tempatnya lah, kita tunjukan sifat berbudi bagi lingkungan kita. Semoga. Duh,  Journo jadi ingat lirik lagunya Om Ebiet G. Ade deh:

Mungkin Tuhan mulai bosan... melihat tingkah kitayang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa...
Atau alam mulai enggan, bersahabat dengan kita... Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang...

Dari Berbagai Sumber

Reporter: Fauziah Muslimah

Rabu, 29 Januari 2014

BAHASA JURNALISTIK: Editing Dalam Bahasa Jurnalistik


Penyuntingan Berita
Penyuntingan berita yang biasa disebut editing berita biasa dilakukan setelah jurnalis menyusun tulisan. Dalam jurnalistik, proses editing dapat dilakukan oleh jurnalis sendiri atau oleh seorang editor, yang memegang tugas khusus untuk melakukan penyuntingan atau editing untuk setiap naskah berita.[1]

Tujuan utama proses editing adalah untuk mengetahui dan melihat kembali tulisan-tulisan berita yang telah disusun agar sesuai dengan tujuan komunikasi yang diharapkan, di samping telah disusun dengan baik dan benar. Kegiatan editing biasanya dilakukan oleh editor, orang yang bertugas mengoreksi pemakaian bahasa. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan oleh seorang editor, di antaranya: (Syarifudin, 2010: 86-96)

1.      Membaca teks dengan sebaik-baiknya dan memahaminya
2.      Memperhatikan unsur kosa kata, kalimat, dan makna
3.      Mengecek kesesuaian kaidah ejaan dan tanda baca yang berlaku
4.      Memastikan aspek komunikatif bahasa yang digunakan
5.      Mengecek gaya bahasa yang digunakan
6.      Menerapkan teknik editing yang digunakan (berdasar kata, baris, atau paragraf), termasuk simbol koreksi yang digunakan, dan
7.      Membaca dengan saksama hasil editan

Pokok-Pokok Penyuntingan Naskah

Menyunting naskah (bulletin editing) adalah proses dalam menyeleksi berita, memperbaiki penulisan laporan dan naskah dari kantor berita, dan menyusun urutan berita. Sedangkan istilah bulletin editor adalah yang langsung terlibat dalam produksi sebuah buletin berita (kandungan/isi/content/ dan cara penyajian/presentation technique).[2]

Syarat mutlak sebelum mulai menyunting adalah membaca dulu secara keseluruhan naskah yang akan disunting. Seorang bulletin editor  sama sekali tidak boleh lupa bahwa mulai saat sebuah naskah berita dipercayakan kepadanya untuk disunting, mulai saat itu naskah tersebut adalah hasil karyanya sampai saat disiarkan. Meskipun demikian, dia harus menghormati karya dari penulis aslinya dan memastikan bahwa keakuratan tetap dipertahankan.[3]

Dalam konteks sederhana, editing yang diindonesiakan menjadi sunting, dapat berarti susun dan gunting. Artinya, untuk menyempurnakan suatu tulisan berita. Adapun fokus dalam kegiatan penyuntingan, antara lain: (Syarifudin, 2010: 86-87)

·         Mengoreksi naskah dan menghindari salah ketik
·         Menjadikan tulisan lebih menarik
·         Mengecek aspek kata, kalimat, dan penggunaan istilah
·         Memperhatikan pilihan kata dan gaya bahasa
·         Menghindari pemakaian kata yang bermakna konotatif
·         Berorientasi pada bahasa populer agar mudah dipahami


Dalam konteks lanjutan, kegiatan penyuntingan berita dapat pula dilakukan dengan melakukan berbagai tahapan sebelum berita disajikan, yang terdiri atas: (Syarifudin, 2010: 87)
a)      Memperbaiki kesalahan-kesalahan faktual
b)      Menghindari kontradiksi dan memperbaiki berita
c)      Memperbaiki kesalahan ejaan (tanda baca dan tata bahasa)
d)     Menyesuaikan gaya bahasa dengan gaya bahasa surat kabar yang bersangkutan
e)      Meringkas berita agar memiliki kejelasan makna
f)       Menghindari pemakaian bahasa yang negatif  (bad taste) dan bermakna ganda
g)      Melengkapi tulisan dengan bahan-bahan tipografi (subjudul)
h)      Menemukan judul yang menarik
i)        Membuat keterangan gambar/caption, dan
j)        Mengecek berita yang tercetak

Dari segi prose, kegiatan penyuntingan atau editing berita dapat dilakukan melalui dua tahapan berikut: (Syarifudin, 2010: 88)

1.      Penyuntingan redaksional, yang mengacu pada proses penyuntingan yang menekankan pada aspek kelogisan berita, kemudahan pemahaman, dan kejelasan makna. Penyuntingan ini dilakukan untuk membangun kesan pembaca/pemirsa agar lebih mudah memahami berita yang disajikan dan menarik untuk dibaca/ditonton/didengar.

2.      Penyuntingan substansial, yang mengacu pada proses penyuntingan yang menekankan pada keakuratan data dan kebenaran fakta yang disajikan dalam berita sehingga isi berita menjadi lebih mudah dipahami pembaca/pemiras/pendengar. Sistematika penulisan menjadi fokus dalam penyuntingan ini sebagai representasi dari kualitas pemberitaan.




[1] Syarifudin Yunus, Jurnalistik Terapan, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hal. 86
[2] Hasan Asy’ari Orahami, Menulis Untuk Telinga: Sebuah Manual Penulisan Berita Radio, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 89
[3] Ibid