Jumat, 07 Februari 2014

Tradisi Ilmiah Mahasiswa Untuk Raih Ilmu Bukan Sekedar Gelar

Prof. Dr. Andi Faisal Bakti: Guru Besar Ilmu Komunikasi UIN  Jakarta


Tradisi ilmiah mahasiswa sebagai kebiasaan yang melekat di keseharian kegiatan perkuliahan mereka mulai menurun. Dapat dibuktikan, perbedaan jumlah mahasiswa di perpustakaan dengan mereka yang ada di tempat hiburan seperti mall dan kafe. Apakah hal ini dipengaruhi oleh sikap hedonis?  Menurut Guru Besar Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM)  Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, tradisi ilmiah mahasiswa bisa ditingkatkan dengan banyak cara, yang terpenting adalah kesadaran dan keaktifan mahasiswa sendiri untuk meraih ilmu pengetahuan bukan sekedar untuk meraih gelar saja. Berikut petikan lengkap wawancara wartawan Fauziah Muslimah dengan Guru Besar Ilmu Komunikasi FIDKOM UIN Jakarta, Senin (29/10) di kantornya yang berlokasi di Ciputat, Tangerang Selatan  seputar menurunnya tradisi ilmiah mahasiswa sekarang:

Bagaimana kriteria tradisi ilmiah yang harus dimiliki oleh mahasiswa?

Dari hal yang sederhana saja, jika membuat makalah mereka harus banyak membaca semua buku yang berkaitan dengan makalah yang akan mereka tulis. Mahasiswa harus bisa menulis dengan baik, dan tulisan yang baik itu yang banyak referensinya, berkaitan dengan permasalahan yang dibahas, dan yang terpenting adalah pola-pola penulisan yang baik dan benar.

Makalah atau skripsi yang ditulis sesuai prosedur akan melahirkan karya ilmiah yang bernilai dan bermanfaat. Sesuai prosedur yang saya maksud adalah karya ilmiah yang berisi konteks, latar belakang, teori-teori ilmuwan, dan yang terpenting adalah pernyataan pemakalah terhadap permasalahan yang sifatnya ilmiah, bukan deskriptif biasa, dan lebih baik lagi jika bersifat analisis dan kritis. Oleh karena itu pembuatan karya ilmiah memerlukan penelitian mendalam agar bisa menjawab permasalah secara detil.

Apa yang Anda lakukan dalam proses belajar mengajar untuk meningkatkan tradisi ilmiah mahasiswa?

Biasanya saya memberikan tugas berupa penulisan makalah. Tapi makalah yang berbobot isinya dan penulisannya sesuai prosedur yang tadi saya jelaskan. Saya ingin mahasiswa bisa menciptakan dan menemukan  ilmu pengetahuan dari hasil pemikiran mereka sendiri.

Jika kita lihat sekarang, budaya hedonis yang ada di masyarakat menjadikan mahasiswa jarang membaca buku atau menjalankan tradisi ilmiah mereka. Apa penyebabnya?

Budaya hedonis itu budaya yang sia-sia saja, karena hal itu tidak produktif. Bagaimana mungkin mereka bisa  melahirkan suatu karya  ilmiah, jika kegiatannya hanya hang-out bersama teman-temannya, sedangkan menulis karya ilmiah itu harus melakukan penelitian mendalam, seperti membaca buku. Mereka akan merugi nantinya, karena hidup di dunia ini kita harus bekerja, berkiprah, dan berkarya.

Mahasiswa sekarang ini kurang aktif dan sadar terhadap ilmu pengetahuan. Mereka hanya sekedar kuliah, tidak berusaha meraih ilmu dengan sungguh-sungguh. Keaktifan dan kesadaran mahasiswa terhadap ilmu pengetahuan itu sangat penting, jangan hanya untuk meraih gelar tapi ilmunya tidak dapat. Gelar akan mengikuti setelah kita benar bersungguh-sungguh belajar. Salah satu penyebab berkurangnya kreativitas mahasiswa di tradisi ilmiah mereka adalah mereka terlalu fokus pada gelar, bukan ilmunya, karena itu ada mahasiswa yang membayar orang lain, misalnya untuk mengerjakan tugas makalah, bahkan skripsi. Jika demikian, mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai dan hasilnya nanti adalah hanya gelar yang mereka dapatkan bukan ilmu pengetahuannya.

Untuk berkaca dari pengalaman Anda mengajar di Universitas luar negeri, Bagaimana tradisi ilmiah mahasiswa luar negeri jika dibandingkan dengan mahasiswa di Indonesia?

Dari segi kecerdasan, saya pikir mereka semua sama. Hanya saja dari sisi fasilitas mereka lebih kaya raya, misalnya perpustakaan mereka lengkap bahkan naskah kuno pun ada di sana. Pertama, semangat belajar. Mahasiswa luar negeri cenderung lebih tinggi semangatnya. Padahal mereka kuliah sambil bekerja untuk memenuhi kehidupan mereka sendiri yang sudah lepas dari tanggung jawab orang tua sejak berusia 18 tahun. Jika putus kerja, pemerintah di sana bersedia mengeluarkan tunjangan dana untuk meneruskan kuliah mereka.

Kedua, mereka lebih tekun dalam belajar dan fokus pada tugas yang diberikan dosen. Jika saya memeriksa hasil tugas mereka, saya tidak membutuhkan waktu yang lama, karena mereka menulis sesuai dengan pola-pola penulisan yang baik dan benar serta penelitian mereka bersifat Internasional. Seperti penelitian tentang Islam di India atau yang lainnya yang menyiratkan penelitian mereka bernilai tinggi, karena melakukan penelitian yang mendalam.

Terakhir, sebaiknya kita tidak membanding-bandingkan. Tapi, alangkah baiknya mahasiswa Indonesia bisa berkaca dari semangat belajar mahasiswa luar negeri.

Jika demikian, apakah fasilitas bisa menjadi salah satu alasan mahasiswa Indonesia berkurang tradisi ilmiahnya?

Fasilitas jangan menjadi penghalang kita untuk berkreativitas. Karena, keaktifan untuk meraih  ilmu pengetahuanlah yang terpenting menurut saya. Tapi, terkadang fasilitas yang kurang menjadikan tradisi ilmiah itu kurang maksimal.

Terakhir, Apa prinsip-prinsip yang harus dipegang mahasiswa  untuk meningkatkan tradisi ilmiahnya?

Saya akan mengambil garis besarnya, meraih ilmu dengan sungguh-sungguh itu lebih baik daripada hanya bertujuan meraih gelar saja. Mahasiswa harus mempunyai manajemen waktu yang baik untuk menyelsaikan tugas-tugasnya tepat waktu. Mereka harus pandai menulis dan  untuk bisa diterbitkan agar bisa dibaca banyak orang.


Mahasiswa mengambil peran penting dalam pengabdian kepada masyarakat, oleh karena itu belajar dengan sungguh-sungguh bisa menjadikan mereka  bermanfaat bagi masyarakat luas. Budaya hedonis harus mereka hilangkan, mereka harus cerdas secara moral, intelektual, emosional, fisik agar tidak terlalu lama menjadi beban orang tua. Terakhir, belajarlah bahasa asing dan belajarlah ke Universitas-Universitas luar negeri untuk mendapatkan ilmu dan pengelaman yang lebih luas. [] Fauziah Muslimah 

Ladies Futsal UIN: “Meski Berjilbab Tetap Eksis”


Olahraga futsal yang  biasanya digemari oleh kaum adam, kini mulai dilirik juga oleh kaum hawa. Banyak klub-klub futsal yang beranggotakan para perempuan. Mereka tak kalah gesit menggiring bola ke gawang di tengah lapangan futsal. Pemandangan itu bisa dilihat di lapangan olahraga Student Center kampus UIN Syarif Hidayatullah setiap hari Rabu pukul 4 sore. Mereka adalah para mahasiswi UIN yang gemar bermain futsal, dan tentu saja di lapangan mereka tetap memakai jilbab.

Adalah Ladies Futsal (LF) UIN nama klub futsal para mahasiswi UIN. Klub olahraga futsal tersebut baru  diresmikan pada bulan Agustus 2012 lalu di bawah kepengurusan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Forum Olahraga Mahasiswa (FORSA). Sebelum terbentuk klub LF hanya digawangi oleh empat mahasiswi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) yang suka futsal, tapi terus berkembang hingga saat UIN menerima mahasiswa baru, LF memanfaatkan peluang untuk membuka pendaftaran bagi anggota barunya. Alhasil, saat ini sedikitnya 50 orang mahasiswi menjadi anggota Ladies Futsal UIN.

Walaupun masih terbilang klub baru, prestasi LF tidak bisa dipandang sebelah mata. Buktinya, saat diundang untuk bertading pertama kali oleh kejuaraan Futsal Atmadjaya Cup yang diselengarakan oleh Universsitas Atmadjaya Jakarta, LF berhasil menjadi Runner Up atau juara kedua mengalahkan tuan rumah Universitas Atmadjaya dan berhasil masuk final bertanding dengan Universitas Budi Luhur yang mengalahkan LF UIN dengan skor (1-0). Sedangkan saat ini, para anggota LF sedang mempersiapkan diri untuk bertanding di kejuaraan LIFUMI (Liga Futsal Mahasiwi) mewakili UIN Syarif Hidayatullah.
Tim Ladies Futsal UIN Jakarta
Foto: dokumentasi pribadi

LIFUMI adalah liga futsal pertama yang dilaksanakan atas kerja sama BOLA LOB (Portal Berita Futsal di Twitter) dan Badan Futsal Nasional mulai bulan Maret lalu. Pertandingan tersebut mempertemukan klub-klub futsal mahasiswi di beberapa Universitas. LF UIN berhasil menempati peringkat keenam di atas Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Pada Sabtu (13/4) nanti, LF akan bertanding melawan klub Futsal Mahasiswi Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung di lapangan futsal VIDI Arena Pancoran Jakarta Selatan untuk memperebutkan peringkat kelima.
“Saat bertanding di LIFUMI, kami adalah satu-satunya tim futsal yang semua anggotanya memakai jilbab, dan itu sangat diapresiasi oleh panitia, “ jelas Desi Riani, mahasiswi jurusan akuntansi FEB UIN selaku Ketua LF UIN kepada Tangsel Post Rabu (10/4). “Walaupun tidak berhasil meraih juara, kami tetap bangga bisa mewakili UIN sebagai tim futsal mahasiswi,” tambah Desi.

Menurut Desi Riani, bermain futsal sudah menjadi hobinya sejak kecil, dan bergabung dengan LF UIN membuatnya senang bisa menyalurkan hobinya itu dan menambah pengalaman dan teman-teman sesama penggemar futsal dari universitas lain. Desi juga berharap tidak ada lagi pandangan sebelah mata bagi para perempuan yang bermain futsal, karena itu merupakan hobi dan sudah banyak klub-klub futsal putri berdiri. Apalagi LF UIN yang digawangi oleh para mahasiswi yang berjilbab. “Kami bermain futsal dan kami tetap menutup aurat, kami berjilbab, “ tambah Desi. 
Penulis: Fauziah Muslimah

*Terbit di Harian Tangerang Selatan Post/Kamis, 18 April 2013



Kamis, 06 Februari 2014

Organisasi Primordial, Sarana Pelepas Rindu Mahasiswa Perantauan


Jauh di mata dekat di hati. Peribahasa itu mungkin tepat diberikan kepada para mahasiswa perantauan. Pasalnya, menjadi seorang yang tinggal jauh dari kampung halaman yang jauh akan membuat kerinduan di hati. Untuk mengatasi kerinduan tersebut, banyak hal yang bisa mereka, para perantau lakukan, seperti mengonsumsi makanan khas daerah atau pergi ke anjungan kampung halaman di Taman Mini Indonesia Indah. Tapi, bagi kalangan mahasiswa berorganisasi adalah pilihan yang sering dilakukan untuk mengobati kerinduan pada kampung halaman mereka.

Organisasi yang dibentuk oleh para mahasiswa tersebut adalah organisasi berbasis kedaerahan atau biasa disebut organisasi primordial. Organisasi itu beranggotakan para mahasiswa yang berasal dari satu daerah yang sama. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan  banyak terdapat kantor sekretariat organisasi primordial di sekitar area kampus UIN Syarif Hidayatullah. Seperti organisasi Himpunan Mahasiswa Banten (HMB), Himpunan Mahasiswa Tasikmalaya (HIMALAYA), Ikatan Mahasiswa Tegal (IMT), Persatuan Mahasiswa Melayu (Pamalayu) dan lainnya

Salah satu organisasi primordial yang aktif adalah Persatuan Mahasiswa Melayu (Pamalayu) Kepulauan Bangka Belitung. Organisasi ini beranggotakan para mahasiswa yang berasal dari Bangka Belitung yang menempuh kuliah di daerah  Jabodetabek. Organisasi primordial tersebut telah berdiri sejak 18 Juni 2004. Selama Sembilan tahun, Pamalayu sudah mengalami pergantian kepengurusan yang secara kontinyu mempunyai kegiatan rutin bagi para anggotanya. 

“Selama ini sedikitnya ratusan mahasiswa asal Provinsi Bangka Belitung sudah menjadi anggota Pamalayu, kebanyakan mereka berasal dari kampus UIN Syarif Hidayatullah, UMJ, kampus Al-Hikmah Jakarta, LIPIA, UI, dan IISIP,” kata  Ery Chandra, Ketua Umum Pamalayu kepada Tangsel Pos, Senin (13/5).

Pamalayu mempunyai kegiatan rutin yang berlangsung berkala bagi para anggotanya, seperti latihan pengkaderan, forum diskusi, dan makan bersama. Menurut Ery yang juga Mahasiswa Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UIN Syarif Hidayatullah, para anggota Pamalayu juga sering berkumpul untuk makan bersama masakan  khas Provinsi Bangka Belitung, Lempak Kuning. “Sambil diskusi atau rapat kami juga sering membuat dan makan bersama Lempak Kuning, yaitu masakan khas Bangka Belitung yang terbuat dari ikan dan kuah kunyit ditambah buah nanas, mirip masakan gulai,” jelas Ery.

Selama berorganisasi, Pamalayu juga berpengaruh dalam pengembangan daerah aslanya di Provinsi Bangka Belitung. Ketika masa liburan, banyak mahasiswa yang mengadakan seminar-seminar atau penyuluhan kepada warga Bangka Belitung. Selain itu, para mahasiswa tersebut juga aktif menulis opini di beberapa media massa setempat untuk sekedar berasumsi mengenai kondisi kedaerahan Provinsi Bangka Belitung saat itu.

“Banyak sekali kesan yang saya dapatkan selama ikut organisasi primordial, Pamalayu. Selain sebagai pelipur rindu, tapi seperti benci tapi rindu gitu, semakin banyak diskusi dengan teman-teman tentang Bangka Belitung, semakin geram saya dengan keadaan daerah asal saya yang harus segera dibenahi,” tambah Ery. [] Fauziah Muslimah


*Terbit di Harian Tangerang Selatan Post/Mei 2013

Mahasiswa Harus Hilangkan Tradisi Copy-Paste


Mahasiswa harus menghilangkan tradisi copy-paste atau kegiatan plagiat terhadap karya tulisnya. Kebiasaan mengutip tulisan orang lain seperti itu menjadikan daya berpikir mahasiswa  berkurang.  Karya ilmiah yang mereka tulis menjadi tidak bernilai isinya.

Hal itu disampaikan Guru Besar Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Andi Faisal Bakti dalam wawancara langsung di kantornya yang berlokasi di Mega Mall Ciputat, Tangerang Selatan, Senin (29/10). Profesor yang juga aktif mengajar di Universitas Indonesia ini mengatakan karya ilmiah hasil tulisan mahasiswa yang baik adalah tulisan yang berkaitan dengan ilmu yang ditulis mereka.

“Menulis karya ilmiah itu harus mengutamakan konteksnya, latar belakang permasalahan, dan yang paling penting adalah pernyataan dari penulis yang bersifat ilmiah. Bukan deskriptif biasa, lebih baik lagi bersifat analisis dan kritis,” jelasnya. Menurut mantan Direktur International Office UIN Jakarta ini, kebiasaan menyontek karya tulis orang lain itu yang menghancurkan tradisi ilmiah mahasiswa. Mahasiswa harus berpikir untuk menciptakan dan menemukan suatu ilmu pengetahuan yang harus asli dari hasil pemikiran mereka sendiri. Prof. Andi mengecualikan teori dan metodologi dalam penulisan karya ilmiah mahasiswa yang boleh dikutip dari orang lain, selain itu dilarang.


“Saya selalu memberikan tugas kepada mahasiswa untuk melatih mereka mengembangkan tradisi ilmiahnya, seperti pembuatan makalah yang terstruktur dan sesuai dengan pola penulisan yang baik dan benar,” katanya. Profesor yang pernah mengajar di Oxford University ini mengatakan mahasiswa harus bisa mengembangkan diri dan pola berpikir mereka secara ilmiah dengan banyak membaca buku-buku berkualitas. “Jangan sering konsultasi ke Kiyai Google,”  katanya sambil tersenyum. [] Fauziah Muslimah

Membenahi Perparkiran UIN Jakarta, Tak Semudah Membalik Telapak Tangan


Parkiran motor semrawut, keamanan masih diragukan, dan sistem manual masih diterapkan. Tidak berlebihan, harus ada yang dibenahi dari penataan perparkiran kampus UIN Jakarta, walaupun tak semudah membalik telapak tangan.
Potret buruk mengenai penataan perparkiran dapat ditemui di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedikitnya 6000 motor dan 200 mobil lalu-lalang setiap harinya ke kampus. Tetapi, hal itu tidak dibarengi dengan lahan parkir yang memadai. Alhasil, parkiran semrawut terlihat di sisi jalan setiap fakultas yang berada di kampus satu tersebut. Hal ini menjadi pekerjaan rumah yang harus dipikul pihak rektorat kampus selaku penanggung jawab UIN Parking yang sempat menggunakan jasa DumParking pada tiga tahun yang lalu itu.

Bertahun-tahun memakai jasa pengelolaan parkir perusahaan luar, membuat pihak rektorat mengernyitkan dahi. Banyak keluhan yang mereka terima silih berganti dari mahasiswa, mulai dari masalah pencurian sampai biaya parkir. Ketika ditelaah, pihak rektorat menemukan kendala yang memberatkan mahasiswa.  Pihak rektorat dari bagian umum kampus UIN Jakarta pun mengambil alih sistem pengelolaan parkir tersebut.

Pada masa UIN Parking berjalan, persoalan lain pun muncul. Sistem manual yang digunakan dalam mengelola parkiran dinilai tidak efektif bagi kampus seluas UIN Jakarta. Hal itu dapat dibuktikan dengan banyaknya laporan kehilangan dari mahasiswa, mulai dari helm sampai motor yang raib di kampus mereka sendiri.

Menguras Emosi
Emosi seperti terkuras. Mungkin itulah yang dirasakan Ahmad Algifari (20), mahasiswa jurnalistik semester lima. Motornya raib di area parkiran dekat Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (Fidkom) UIN Jakarta.

Motor Ahmad raib sekitar pukul 11.30 di parkiran atas di depan (Fidkom). Tapi, berbeda dengan Anas, Ahmad tidak lupa mengambil kuncinya. Semua kelengkapan seperti karcis dan STNK pun dia yang menyimpan. Saat jam istirahat tiba dan dia ingin mengambil helm untuk diamankan karena takut hujan, motornya sudah hilang. Ahmad pun langsung melapor ke petugas parkir dan berlanjut ke Kapolsek Ciputat.

“Kasus-kasus yang terjadi memang di antaranya karena faktor kelalaian petugas, saya simpulkan saja jika sistem yang digunakan masih manual, hal apa pun bisa terjadi.”, jelas Rahmat Hidayat, koordinator lapangan UIN Parking. Rahmat menambahkan, petugas parkir juga mengalami kesulitan untuk mengontrol lahan parkir yang luas itu. 17 petugas parkir yang dipekerjakan di UIN Jakarta dan harus dibagi dua dengan wilayah parkirnya kampus satu dan dua. Hal itulah yang menyulitkan para petugas mengawasi keseluruhan lahan parkir yang ada.

Solusi Yang Diajukan
“Batasi saja penggunaan motor di kampus UIN ini, agar kampus bisa nyaman dan tidak ada polusi, kalau bisa disediakan parkiran sepeda,” usul Tridiwa Arief, mahasiswa kesejahteraan sosial semester tiga.

Berbeda dengan Tridiwa, Anastasia berharap lahan parkir dengan gedung berlantai segera dibangun di kampus UIN Jakarta. Menurutnya, jika area parkir berada pada satu gedung dengan sistem komputer, maka kasus pencurian sangat minim terjadi dan mahasiswa merasa aman dan nyaman untuk menggunakan fasilitas kampus.


Kondisi penataan perparkiran kampus yang masih menuai masalah ini juga sedang menjadi konsentrasi pihak rektorat yang berharap system tidak memberatkan mahasiswa. Muhammad Ali Meha, Kepala Bagian Umum Rektorat UIN Jakarta mengatakan pihaknya sudah mencanangkan system baru yang semoga tidak memberatkan mahasiswa. “Pembangunan gedung parkiran setinggi tujuh lantai akan kami bangun mulai Maret 2013, rencananya lantai satu sampai empat menjadi lahan parkir dan lantai lima sampai lantai tujuh menjadi gedung baru perpustakaan utama,” jelas Muhammad Ali Meha.

Muhammad Ali Meha juga menambahkan, jika system baru pengelolaan perparkiran dengan system mesin atau komupter ditakutkan akan memberatkan mahasiswa. Hal itu dikarenakan, waktu dan antrian panjang akan terjadi saat waktu masuk kelas yang keluar kelas yang bersamaan para mahasiswa. Oelh karena itu, pihak rektorat masih menganalisa dan menimbang kembali system yang akan diberkalukan nanti bagi perparkiran UIN Jakarta yang tidak memberatkan mahasiswa. [] Fauziah Muslimah


Rabu, 05 Februari 2014

SARJANA INSTANT MENURUNKAN MUTU PENDIDIKAN



S
aat ini jumlah perguruan tinggi di Indonesia mencapai 3070 buah, dengan 83 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) 2,7% dan 2.987 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) 97,3 5%. Jumlah tersebut sudah menghasilkan sebanyak 2,8 juta sarjana per tahun. Tapi, jumlah tersebut tidak dibarengi dengan kualitas dari lulusannya, sebagian sarjana masih ada yang menganggur. Fenomena sarjana instant pun muncul sebagai akibat dari keinginan mahasiswa untuk cepat selesai kuliah dan mendapatkan pekerjaan.

Cara instant bermunculan, mulai dari membeli karya ilmiah dari makelar skripsi sampai melakukan tindakan plagiarisme. Gelar sarjana yang umumnya harus ditempuh selama empat tahun, bisa dipercepat oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Hal tersebut menjadi perhatian semua pihak yang bisa mencoreng pendidikan Indonesia.

Menurut Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah, Nurul Hidayati, M.Pd, banyak cara yang dilakukan mahasiswa demi mencapai nilai dan meraih gelar sarjana, seperti menyontek ketika ujian, menyogok, memalsukan nilai, dan tanda tangan, serta tindakan plagiarisme. Nurul mengatakan mahasiswa yang melakukan hal-hal instant tersebut mereka yang tidak melihat ilmu pengetahuan sebagai kebenaran. Niat mereka belajar sudah berbelok, sehingga mereka melakukan apa saja demi gelar dan nilai.

“Nilai yang baik bukan satu-satunya acuan untuk menilai seorang mahasiswa atau sarjana itu berkulitas, banyak aspek lainnya, seperti jujur, mempunyai skill yang mumpuni, kreatif dan inovatif,” kata Nurul kepada Tangsel Pos, Selasa (12/02). “Mahasiswa jangan terbawa arus yang tidak baik, jika mereka bersikap jujur akan ada kepuasan batin tersendiri terhadap hasil yang mereka perjuangkan,” tambah Nurul.

Nurul menjelaskan, gelar sarjana seharusnya diraih dengan melakukan penelitian ilmiah. Penelitian yang menjadi syarat kelulusan tersebut harus bisa berkontribusi bagi masyarakat yang disusun secara sistematis, objektif, empiris, pragmatis, serta metodologi yang benar. Sedangkan untuk mengantisipasi cara-cara instant, menurut Nurul harus ada gerakan preventif dan hukuman bagi oknum tersebut.

Hal tersebut juga disampaikan Dekan Fakultas Dirosat Islamiyah, Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA., fenomena sarjana instant sebenarnya bukan isu baru, tapi belakangan ini muncul lagi. Menurutnya, sikap tegas harus diberlakukan bagi pelaku plagiarisme, sanksi yang dilakukan seperti mencabut ijazah dan membatalkan gelar menjadi langkah yang baik sesuai UU Pendidikan No. 20 tahun 2003. Perilaku-perilaku menempuh gelar sarjana dengan instant tersebut adalah kejahatan intelektual.

“Fenomena ini muncul akibat lemahnya pengawasan pemerintah terkait, atau adanya pembiaran oleh beberapa Perguruan Tinggi yang “sulit mencari mahasiswa” dalam rangka menjaga keberlangsungan perguruannya, sehingga dilakukanlah transaksi bisnis dalam dunia pendidikan,” jelas Abuddin, Rabu (13/02). Perguruan tinggi yang melakukan hal tersebut di kemudian hari akan ditinggalkan peminatnya, karena mutunya tidak terjaga.

Bagi Abuddin, cara yang harus ditempuh untuk mencegah perilaku instant tersebut dengan membuat badan satuan khusus pendidikan yang mengawasi berlangsungnya pendidikan di perguruan tinggi, seperti membuat dan mengawasi kode etik mahasiswa dan kode etik dosen. “UIN Syarif Hidayatullah sudah menerapkannya, seperti di Sekolah Pasca Sarjana, kami melarang keras tindak plagiarisme dengan berbagai tahap pengesahan sebelum gelar diberikan,” jelas Abuddin.

Abuddin menyarankan kepada mahasiswa untuk mengikuti saja prosedur yang ada sesuai dengan tahapan delapan semester dalam meraih gelar. Mereka seharusnya dibimbing dengan benar dan diawasi oleh berbagai pihak, mulai dari dosen sampai pihak program studi agar pembinaan tersebut terarah dan tidak menjadikan mereka melakukan hal-hal instant.

Lanjut Abuddin, profil lulusan perguruan tinggi harus sesuai dengan Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu Pertama, mereka melakukan pendidikan dan pengajaran sesuai ilmu yang mereka dapatkan. Kedua, melakukan penelitian. Mahasiswa harus menghasilkan suatu penelitian dan memiliki hak paten tingkat dunia. “Menurut hemat saya, dari sekitar 4.000-an PT di Indonesia, sarjananya hanya menghasilkan 419 hak paten penelitian per tahun. Kita seharusnya malu pada Singapura yang dengan puluhan PT saja bisa menghasilkan 10.000 hak paten per tahun,” tambahnya.

Ketiga, lanjut Abuddin, pengabdian bagi masyarakat sesuai bidang yang ditekuninya. Jika para mahasiswa tidak melakukan langkah-langkah instant mereka bisa mencapai ketiga cita-cita tersebut dan menjadi orang yang bermanfaat bagi masyarakat, bukan malah menurunkan mutu pendidikan itu sendiri. [] Fauziah Muslimah


*terbit di Harian Tangerang Selatan Post/ Februari 2013

Senin, 03 Februari 2014

Apa Itu (Tulisan) Feature?

Pengertian Features
Dalam teori jurnalistik, produk surat kabar terbagi menjadi tiga, yaitu berita (news), opini (views), dan iklan (advertising). Selanjutnya, dalam penyampaian informasi secara fakta, produk jurnalistik itu adalah berita (news) yang terbagi menjadi dua; berita berat atau berita keras (straight news) dan berita ringan (soft news). Secara teoritis, features termasuk dalam soft news.[1]

Features adalah cerita atau karangan khas yang berpijak pada fakta dan data yang diperoleh melalui proses jurnalistik. Disebut cerita atau karangan khas, karena features bukanlah penuturan atau laporan tentang fakta secara lurus atau lempang sebagaimana dijumpai pada berita langsung (straight news).[2] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), features berarti karangan yang melukiskan suatu pernyataan dengan lebih rinci sehingga hal-hal yang dilaporkan jurnalis bisa hidup dan tergambar dalam imajinasi pembaca.[3]

Sedangkan dalam Kamus Jurnalistik, features berarti jenis tulisan yang khas di media massa yang menuturkan fakta, peristiwa, atau proses disertai penjelasan riwayat terjadinya, duduk perkaranya, proses pembentukannya, dan cara kerjanya dengan menggunakan gaya atau teknik penulisan karya sastra, seperti cerita pendek atau novel. Sifat tulisannya lebih menghibur dan menjelaskan masalah daripada sekedar menginformasikan. Features dapat berisi hal-hal yang mungkin diabaikan oleh berita langsung atau straight news dan relatif  tidak akan pernah basi.[4]

Karena itu, penulisan features tidak tunduk kepada kaidah pola piramida terbalik penulisan berita langsung (straight news) dengan rumus 5 W + 1 H. Tapi  setiap karya features harus tetap mengandung semua unsur yang terdapat di rumus 5 W + 1 H, hanya penyajian saat penulisannya menggunakan bahasa pengisahan yang sifatnya kreatif. Jadi sangat jauh berbeda dengan berita langsung (straight news) yang disajikan dalam bahasa pelaporan yang sifatnya lugas dan formal. Karena berita ditulis dengan gaya laporan yang bersifat lurus, ringkas, dan tegas, sedangkan features ditulis dengan gaya cerita pendek (cerpen) yang bersifat lentur, hidup, dan memikat.[5]

Karakteristik Penulisan Features
Sebagai tulisan berita ringan, features memiliki karakteristik berbeda dengan berita langsung (straight news). Adapun karakteristik tulisan features adalah: 

a.         Penulisan dengan teknik mengisahkan (to story) suatu situasi, peristiwa, atau keadaan secara faktual.
b.        Berisi tentang suatu situasi, keadaan atau aspek kehidupan yang sifatnya faktual, objektif, benar, dan akurat.
c.         Hasil karya liputan jurnalistik memalui proses proyeksi, observasi, investigasi, komunikasi, dan konfirmasi dengan pihak narasumber.
d.        Bertujuan untuk menyampaikan informasi tetapi sekaligus juga menghibur khalayak dengan tulisan yang informati dan rekreatif.
e.         Tulisan berupa rangkaian fakta atau informasi yang disajikan secara tidak resmi atau informal.
f.         Features tidak terikat kepada aktualitas karena temanya bisa dipersiapkan, diliput, ditulis, dan disajikan kapan saja sesuai dengan kebutuhan, sehingga bisa tahan lama (awet).
g.        Karena ditulis dengan teknik mengisahkan di luar piramida terbalik, maka setiap bagian features sama pentingnya satu sama lain sehingga pada bagian bawah tidak bisa dikurangi begitu saja.
h.        Tulisan features selalu membawa pesan moral tertentu yang ingin disampaikan kepada khalayak seperti nilai-nilai kejujuran, kesetiaan, sikap tulus tanpa pamrih, pengorbanan, kegigihan suatu perjuangan, kebersihan hati, keluhuran budi, pengabdian, dan cinta kasih.
i.          Features ditulis dengan tidak perlu menggunakan pola piramida terbalik, sehingga bisa ditulis dengan pola induktif, kronologis, logis, topikal, atau spasial.
j.          Karena ditulis dengan teknik mengisahkan (to story), teknik menulis cerita pendek, maka features bersifat naratif ekspresif.[6]


Selanjutnya, features sebagai sebuah cerita memiliki anatomi atau susunan rangka cerita yang tidak sulit dan rumit. Susunan bangunan cerita features terdiri dari: judul, intro, perangkai, tubuh, dan penutup. Bahkan secara garis besar, susunan features terbagi menjadi tiga bagian saja, yaitu pembukaan (intro), penceritaan (tubuh cerita), dan  penutup (klimaks).[7] Jika features ditulis untuk media cetak (surat kabar dan majalah), maka judul juga harus dibuat menarik dan menggugah pembaca agar pembaca berkeinginan membaca seluruh isi tulisan features.[8]



[1] AS Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature,  h. 149.
[2] AS Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature , h. 150.
[3] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), h. 241.
[4] Asep Syamsul M. Romli, Kamus Jurnalistik: Daftar Istilah Penting Jurnalistik Cetak, Radio, dan Televisi (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008), h. 42.
[5] AS Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature , h. 151.
[6] AS Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature , h. 153-156.
[7] AS Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature , h. 153-156.
[8] Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru (Tangerang Selatan: Kalam Indonesia, 2005), h. 111.

Karena Futsal, Terbang Ke Amerika



Kecintaannya pada olahraga futsal membawanya terbang ke Amerika. Adalah Siti Zakiah atau yang sering disapa Chaky ini menjadi salah satu peserta Indonesian America Soccer Exchange (IASE) 2011 lalu. Sebanyak dua puluh peserta yang berasal dari Jakarta, Banjarmasin, Medan, dan Balikpapan mendapat pelatihan tentang olahraga futsal selama dua minggu di Amerika.


Sebelum pemilihan peserta IASE mendapatkan penyeleksian dari seluruh peserta di Indonesia. Chaky sendiri mendapat kesempatan ini karena ia aktif menjadi kapten Ladies Futsal (LF) UIN, yaitu tim futsal putri UIN yang berada di bawah UKM FORSA UIN selama setahun. Seorang dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) merekomendasikan Chaky untuk menjadi salah satu peserta IASE karena kredibilitasnya di olahraga futsal yang tidak diragukan lagi.

Mahasiswi Akuntansi semester delapan  ini  mengawali debutnya di dunia olahraga futsal sejak masih di sekolah menengah atas (SMA). Saat itu Chaky bergabung di tim futsal putri sekolahnya. Pada tahun kedua keikutsertaannya, Chaky meraih penghargaan sebagai Best Player Futsal Putri pada Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) SMAN 90 Jakarta. “Walaupun sempat dilarang orang tua untuk bermain futsal, tapi dari dulu sampai sekarang saya berusaha buktikan kalau saya serius di futsal dengan prestasi, tentunya”, jelas mahasiswi kelahiran 20 Desember 1990 ini.

Tahun lalu, Chaky sebagai kapten LF UIN meraih juara dua dalam pertandingan futsal di Universitas Atmadjaya di acara Atmadjaya Cup. Prestasi-prestasinya di bidang futasl ini membuat Chaky semakin suka dengan hobinya. Chaky bisa membuktikan dan juga membanggakan orang tuanya yang semula tidak setuju dengan hobinya yang cenderung menjadi hobi anak laki-laki itu. “Kalau kita suka, atau hobi pada sesuatu, ya jalanin aja. Jangan takut, kita harus serius dan kuncinya adalah jangan pernah takut untuk sukses dalam hal apapun”, saran Chaky yang sekarang sedang fokus menyelesaikan skipsinya. [Fauziah]


Mahasiswa Bisa Kok Nerbitin Buku!


Selama kurun waktu empat bulan, ia mengasingkan diri dari teman-teman di kampus. Pergi kuliah hanya hadir di kelas, kemudian langsung pulang untuk kembali menulis, begitu seterusnya. Kerja kerasnya menuahkan ide-ide dalam lautan tulisan kini berbuah hasil yang membanggakan. Sebuah buku telah lahir dari rahim kreativitasnya, buku berjudul “Jadi Jurnalis Itu Gampang!!!” lolos ke media literasi Indonesia oleh penerbit terkenal di Jakarta.

Adalah Imam FR Kusumaningati, mahasiswa semester delapan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Jakarta berhasil membuktikan jika mahasiswa bisa menerbitkan buku. Imam, panggilan akrabnya mulai berani menyerahkan naskah tulisannya ke penerbit dan mulai dari dinyatakan diterima sampai akhirnya bisa terbit, prosesnya memakan waktu empat bulan. Ini adalah waktu normal proses penerbitan buku di Elex Media Komputindo, penerbit yang dipilihnya. Menurut Imam, revisi naskahnya hanya sebatas penurunan gaya bahasa supaya dibuat lebih santai, bukan pada isi kontennya. Proses terbit selama empat bulan  itu karena prosesnya juga panjang, mulai dari pengeditan naskah, layout, pembuatan ilustrasi, cover, dan pengurusan administratif seperti pembuatan ISBN. 

Kini, buku Imam yang berbicara tentang Jurnalisme Warga ini sudah berjejer dengan buku-buku lain di toko buku. “Saya belum pernah menulis artikel kemudian dimuat di surat kabar, sebagaimana penulis lainnya. Atau membuat tulisan esai, opini, atau sejenisnya yang dimuat di media. Ikut pelatihan penulisan secara intensif juga tidak pernah. Saya langsung menulis buku dengan modal nekad sebisanya, dan ternyata penerbit sekelas Elex Media Komputindo yang masih bagian dari Kelompok Kompas Gramedia mau menerbitkan buku yang saya tulis”,  jelas Mahasiswa Pendidikan Agama Islam ini.

Menurut Imam, semua orang bisa menulis dan tentunya bisa menerbitkan buku, termasuk mahasiswa. Imam menyarankan mulai menulis dari hal terdekat: yang disuka, dilakukan, dan ditemui sehari-hari. Mulailah dari ide-ide sederhana, tinggalkan saja dulu ide-ide bombastis dan muluk-muluk untuk mulai berlatih menulis. Kemudian tulislah dengan gaya bahasa yang juga sederhana, gunakan gaya bahasa sesuai karakter diri sendiri, tidak harus meniru seperti orang lain.

Untuk menerbitkan buku, itu juga tidak kalah mudahnya. Ketika sudah memiliki naskah, jangan sembarangan memasukkan ke sebuah penerbit. Analisis terlebih dahulu karakter naskahnya kira-kira cocok dengan penerbit mana. Jika memang karakter naskah yang ditulis sudah cocok dengan karakter penerbit yang dituju. Imam bisa menjamin, kemungkinan besar naskah akan diterima.

“Setelah menerbitkan buku yang saya lakukan adalah mempertanggungjawabkan buku yang saya tulis. Diundang untuk mengisi diskusi, seminar, talkshow, ini adalah bentuk pertanggungjawaban intelektual dari apa yang saya tulis”, tambah Mahasiswa yang mempunyai target menerbitkan  tiga buku sebelum bergelar sarjana ini. [Fauziah]