Bahasa
Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa Indonesia mempunyai ragam bahasa
tersendiri. Jika dilihat dari penggunaannya pada bidang-bidang kegiatan atau
keilmuan dikenal ragam-ragam seperti, ragam ilmiah, ragam sastra, ragam
militer, ragam hukum, ragam jurnalistik, dan lainnya.[1]
Setiap ragam itu mempunyai ciri-ciri tersendiri.
Ragam
bahasa jurnalistik telah memiliki posisi yang semakin kuat di masyarakat,
bahkan telah menjadi entitas ragam bahasa baru yang memiliki dinamika yang
pesat. Dengan menyebut istilah bahasa koran, bahasa radio, dan bahasa televisi,
ragam bahasa jurnalistik telah dinikmati masyarakat.[2]
Sejarah
Bahasa Jurnalistik
Dari tahun ke tahun, bahasa jurnalistik terus
berkembang di kalangan pers dan
jurnalis. Pertumbuhan bahasa jurnalistik ini di awali pada abad ke-19 sebagai zaman produksi. Sebagai
produknya adalah teknologi yang disempurnakan, sehingga pola massal digunakan
komunikasi yang tidak lagi sekedar antarpersonal atau antarkelompok.[3]
Selanjutnya,
mesin industri mempengaruhi ruang dan waktu komunikasi yang diatur mesin-waktu
informasi. Mesin komunikasi massa tersebut mencakup ruang percakapan publik
sosial melalui surat kabar, majalah, fotografi, radio, film, televisi, dan
lainnya. Semakin lama berkembang semakin canggih dengan pola komunikasi
penyempurna interaksi masyarakat dalam memahami pesan publik.[4]
Pada
paruh pertama abad ke-20 seorang wartawan Amerika, Lippmann menulis bahwa
kata-kata seing berarti seluruh rangkaian, tindakan, pikiran, perasaan, dan
akibat. Hal ini menegaskan bahwa media massa dalam mengolah kata dari
pemikiran, sikap, dan tindakan masyarakat dam sebuah berita. Oleh karena itu,
bahasa jurnalistik menjadi penyampai ruang dan waktu kemasyarakatan.[5]
Bahasa
jurnalistik di Indonesia diistilahkan oleh Sejarawan Taufik Abdullah pada masa pers yang terbit pada abad ke-19 samapai
abad ke-20 sebagai periode prasejarah pers nasional. Bahasa menjadi alat
penentu pengembangan kesadaran masayarakat.[6]
Sampai sekarang, dalam perkembangannya bahasa pers (jurnalistik) menjadi salah
satu ragam bahasa Indonesia.
Definisi
Bahasa Jurnalistik
Wartawan
Senior, Rosihan Anwar menyatakan bahwa bahasa pers adalah salah satu ragam
bahasa yang memiliki sifat-sifat khas yaitu: singkat, padat, sederhana, lancar,
jelas, lugas, dan menarik. Dalam kosa kata, bahasa jurnalistik mengikuti
perkembangan dalam masyarakat. (Anwar, 1991:1).[7]
Dengan begitu bahasa jurnalistik harus jelas dan mudah agar dipahami
masyarakat.
Selanjutnya,
bahasa jurnalistik didefinisikan sebagai bahasa yang digunakan oleh para
wartawan, redaktur, atau pengelola media massa dalam menyusun dan menyajikan,
memuat, menyiarkan, dan menayangkan berita serta laporan peristiwa atau
pernyataan yang benar, aktual, penting, dan atau menarik dengan tujuan agar
mudah dipahami isinya dan cepat ditangkap maknanya.[8]
Fungsi
Bahasa Jurnalistik
Sebagai
salah satu ragam bahasa Indonesia, bahasa jurnalistik mempunyai fungsinya
sebagai bahasa yang hadir di masyarakat, yaitu: sebagai alat untuk menyatakan
ekspresi diri, sebagai alat komunikasi, sebagai alat mengadakan integrasi dan
adaptasi sosial, dan sebagai alat untuk mengadakan kontrol sosial. (Keraf,
2001: 3-7). [9]
Kendala
Bahasa Jurnalistik
Di antara
beberapa kendala dalam bahasa
jurnalistik adalah adanya penyimpangan bahasa jurnalistik dibandingkan dengan
bahasa Indonesia yang baku, seperti kesalahan sintaksis (tata bahasa dan
struktur kalimat), kesalahan ejaan, dan kesalahan pemenggalan kata dalam
kalimat.[10]
Fauziah Muslimah/1110051100059/Jurnalistik IV B
[1] Abdul Chaer, Bahasa
Jurnalistik, (Jakarta: Bineka Cipta, 2010), hal. 2
[2] Syarifudin Yusuf, Jurnalistik
Terapan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010), hal. 80
[3] Septiawan Santana, Jurnalisme
Kontemporer, (Jakarta: Yayasan, 2005), hal. 151
[4] Ibid
[5] Ibid, hal. 153
[6] Septiawan Santana, Jurnalisme
Kontemporer, (Jakarta: Yayasan, 2005), hal. 159
[7] Drs. As Haris Sumadiria, M.Si, Bahasa
Jurnalistik, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2006), hal. 6
[8] Ibid, hal. 7
[9] Ibid, hal. 8-9
[10] Setiawan Santana K, Jurnalisme
Kontemporer, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hal. 159
Tidak ada komentar:
Posting Komentar