Tanpa meninggalkan substansi pemberitaan, bahasa
jurnalistik tetap harus mengacu pada kaidah bahasa Indonesia yang baik dan
benar. Untuk itu bahasa jurnalistik harus memenuhi tiga unsur penting dalam
pemakaian bahasanya, yaitu: kelaziman, menggunakan bahasa kepatutan dan sopan
santun, kaidah bahasa, yang bertumpu pada ejaan yang disempurnakan (EYD), serta
komunikatif, yang bertumpu pada pemakaian bahasa yang maknanya mudah dipahami.[1]
Ekonomi/Hemat
Kata
Dalam buku Pengetahuan
Dasar Bagi Wartawan Indonesia yang diterbitkan oleh Dewan Pers tahun 1977
terdapat tulisan Goenawan Mohammad tentang bahasa jurnalistik, yaitu: (H.
Rosihan Anwar, 2004: 21-22)
“Meski pers nasional yang menggunakan bahasa
Indonesia sudah cukup lama usianya, sejak sebelum tahun 1928 (tahun Sumpah
Pemuda), tapi sekarang bahasa jurnalistik perlu menuju bahasa jurnalistik
Indonesia yang lebih efisien. Artinya lebih hemat dan lebih jelas. Asas hemat
dan jelas ini penting untuk reporter, dan editor”. Disinilah masuk gambaran
tentang ekonomi kata atau Word economy.
Penerapan ekonomi kata dapat dilakukan dalam dua
unsur, yaitu unsur kata dan unsur kalimat.[2]
Contoh dalam unsur kata dalah penghematan penulisan kata akan tetapi, tapi cukup dengan satu perkataan saja, yaitu tapi. Menulis agar supaya, dihemat menjadi agar
saja, atau supaya.
Penghematan unsur kata juga dapat dilihat dari ejaan
yang salah, dan bisa diperbaiki dengan menghemat huruf. Contoh kata khawatir, menjadi kuatir. Kata akhli
menjadi ahli. Selanjutnya, beberapa
kata mempunyai sinonim yang lebih pendek, seperti tidak disingkat tak, kemudian disingkat lalu, makin disingkat kian.[3]
Contoh dalam unsur kalimat adalah apabila kita
selalu berusaha menulis dengan kalimat-kalimat pendek, jadi tidak dengan
kalimat majemuk. Kalimat “Olahraga menyehatkan badan” menjadi kalimat pendek
dan efektif dari kalimat “Olahraga
badminton, sepak bola, lari pagi, dan senam adalah olahraga yang menyehatkan
badan kita yang sakit karena sibuk bekerja”.
Semua urutan kata yang merupakan kalimat yang masuk
akal kita adalah kalimat yang memenuhi syarat minimal yaitu sesuai dengan
dasar-dasar logika berpikir.[4] Contoh: Ayah membaca koran. Kata Ayah sebagai
subjek (S), membaca sebagai predikat (P), dan koran sebagai obyek (O).
Kata Mubazir
Bahasa jurnalistik adalah bahasa yang membuang kata
mubazir, sehingga tercapailah efisiensi bahasa yang menjadi syarat penulisan
berita yang baik. Kata mubazir adalah istilah yang pertama kali dilontarkan
Rosihan Anwar dalam sidang Kongres Bahasa Indonesia III. Maknanya adalah kata
yang bila tidak dipakai tidak akan mengganggu kelancaran komunikasi. Kata
mubazir adalah kata yang sifatnya terasa berlebih-lebihan.[5]
[1]Syarifudin Yusuf, Jurnalistik Terapan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 84
[2] H. Rosihan Anwar, Bahasa
Jurnalistik Indonesia dan Komposisi
(Yogyakarta: Media Abadi, 2004), Cet. IV, hlm. 22
[3] Septiawan Santana, Jurnalisme
Kontemporer (Jakarta: Yayasan,
2005), hlm. 160
[4] H. Rosihan Anwar, Bahasa
Jurnalistik Indonesia dan Komposisi
(Yogyakarta: Media Abadi, 2004), Cet. IV, hlm. 23
[5] Ibid, hlm. 27-28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar