Kamis, 30 Januari 2014

Hidup Dan Mengais Rezeki Dengan Sampah

Feature Human Interest

           
Senja Jakarta datang di peraduannya. Hiruk pikuk manusia belum mau terhenti walaupun langit Jakarta sudah mulai menguning. Rutinitas hidup yang sudah dipilihkan Tuhan atau memang tidak diusahakan untuk lebih dari sekedar makan karena hidup memang pilihan. Begitu juga dengan Rusdi (13). Anak seorang pemulung di kawasan kampong Gunung Balong Jakarta Selatan.

Sehari-hari dia hidup di antara lautan, bukan lautan nan indah seperti laut Kuta di Bali, atau pasir putih nan indah di sekelilingnya. Lautan sampah. Rusdi dan warga kampung yang lain sudah hidup bertahun-tahun di sini. Hidup di lautan sampah yang datang dari pelosok rumah nan megah milik penghuni kota Jakarta. Sungguh miris, karena di sekelilingnya ada beberapa gedung mewah tegak berdiri.

Rusdi yang hanya ikut pendidikan bagi para pemulung dan anak jalanan itu setiap harinya membantu ayahnya menimbang hasil sampah-sampah yang bisa bernilai jual, seperti kardus, dan bekas botol minuman kemasan. Penghasilan yang dia dapat juga tidak seberapa.

Untuk mensiasatinya, keluarga Rusdi membuka warung kecil-kecilan di depan rumahnya yang hanya terdiri dari dua kamar. Penghasilan dari warung ini, setidaknya bisa mencukupi kebutuhan Rusdi dan adik perempuannya (5) mengikuti sekolah anak jalanan bernama Sanggar Anak Alam.

Kehidupan para warga di lapak sampah ini tidak berhenti sedari pagi. Mulai pagi hari mereka mengais rezeki dengan “berdinas”. Itulah sebutan pekerjaan mereka, yang adalah bahasa tutur warga penghalusan dari kata memulung. Tidak Rusdi atau bahkan warga yang lainnya berharap hidup seperti ini. Akan tetapi mereka tetap menjalaninya dengan ikhlas dan penuh tanggung jawab.

Ini terlihat pada akhir senja hari, Rusdi dan beberapa warga tetap asyik dengan pekerjaannya, mengolah sampah. Sebagian ada yang menimbang-nimbang sampah yang bisa dijual, dan sebagian yang lain mengumpulkan sampah dari gerobak-gerobak yang berjejer rapi di depan tumpukan sampah.
Biasanya Rusdi memulung di daerah sekitar terminal Lebak Bulus. Dia berangkat dari pukul 13.00 siang dan menyelesaikan  tugasnya hingga pukul delapan malam hanya demi mengais keuntungan dari sampah-sampah yang dibuang para warga Jakarta.

Penghasilan Rusdi tidak banyak, hanya lima ratus ribu sebulan. Itu pun dia dan keluarganya cukupkan untuk membayar hutang dan rumah kontrakkan dua kamar yang ditempatinya sekarang. “Hidup di sampah-sampah seperti ini siapa yang mau. Tapi mau bagaimana lagi, saya ikut orang tua saja. Terima nasib”, tutur Rusdi yang sekarang menginjak sekolah non formal setingkat dua SMP.
Kampong Gunung Balong, kampong lapak sampah di kawasan Cilandak Jakarta Selatan. Kampung ini ditinggali oleh puluhan keluarga yang mata pencahariannya pemulung dan pengamen. Warga di sini terlihat sudah kebal dengan bau-bau tidak sedap yang hadir di lingkungan rumah-rumah mereka. Waluapun mereka tahu ini tidak baik untuk pernafasan, apalagi bagi anak-anak.

Hidup di tempat yang untuk menghirup udara segar saja bagaikan mimpi ini memang sulit. Akan tetapi, terlihat anak-anak balita tetap asyik bermain dengan sampah-sampah apa saja yang bisa mereka mainkan. Mereka tidak gusar dengan bau yang ada, lalat-lalat dan kucing-kucing yang juga ikut menemani acara bermain mereka di lapak sampah-sampah itu.

Inilah potret kemiskinan bangsa kita. Siapa yang salah jika kemiskinan sudah menjadi barang yang selalu ada dan dapat kita lihat dimana-mana.seperti kampung Gunung Balong ini. Peran pemerintah seharusnya bisa lebih aktif lagi demi memberantas kemiskinan sampai ke akar-akarnya.
“Mudah-mudahan di Indonesia tidak ada lagi orang miskin dan pemerintah bisa lebih tegas lagi memberantas kemiskinan”, curahan harapan Rusdi anak pemulung yang bercita-cita menjadi pemain sepak bola itu. Tidak hanya Rusdi, tetapi juga harapan seluruh rakyat miskin di Negara ini yang mempunyai Undang-Undang Dasar pasal 34, berisikan bahwa orang miskin dan anak-anak terlantar menjadi tanggungan Negara.

Fauziah Muslimah (1110051100059)
Jurnalistik III B


Tidak ada komentar:

Posting Komentar