Rabu, 29 Januari 2014

BAHASA JURNALISTIK: Pedoman dan Prinsip Pemakaian Bahasa Jurnalistik


Setiap organisasi profesi terikat kewajiban untuk senantiasa memberikan pembekalan, pelatihan, dan pencerahan kepada anggotanya secara periodik. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), sebagai salah satu organisasi profesi tertua dan terbesar di Indonesia, tak terkecuali terikat pula pada ketentuan tersebut. Oleh karenanya, pada kurun waktu 1977-1979 melakukan pelatihan wartawan.[1]

Hasilnya dituangkan dalam sejumlah pedoman penulisan, antara lain: pedoman penulisan bahasa pers, pedoman penulisan teras berita, pedoman penulisan tentang hukum, pedoman penulisan bidang agama, pedoman penulisan bidang koperasi, pedoman penulisan pertanian dan bidang perburuhan. [2]

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Jakarta, 10 November 1978  mengeluarkan sepuluh pedoman pemakaian bahasa dalam pers, yaitu: (H. Rosihan Anwar, 2004: 148-150)

1.      Wartawan hendaknya melaksanakan pedoman ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan, agar tidak ada kesalahan penggunaan ejaan dalam penulisan.

2.      Wartawan hendaknya membatasi diri dalam singakatan atau akronim. Jika ada, maka ia harus menjelaskan dalam tanda kurung kepanjangan akronim tersebut.

3.      Wartawan hendaknya tidak menghilangkan imbuhan, bentuk awal atau prefiks. Pemenggalan kata awalan me dapat dilakukan dalam kepala berita jangan sampai ke tubuh berita.

4.      Wartawan hendaknya menulis dengan kalimat-kalimat pendek. Pengutaraannya harus logis, teratur, lengkap dengan kata pokok, sebutan, dan kata tujuan (subjek, predikat, objek).

5.      Wartawan hendaknya menjauhkan diri dari ungkapan klise atau stereotype yang sering dipakai dalam transisi berita seperti kata, dalam rangka, sementara itu, dapat ditambahkan, dan perlu diketahui.

6.      Wartawan hendaknya menghilangkan kata mubazir, seperti adalah, dari, bahwa dan bentuk jamak yang tidak perlu diulang.

7.      Wartawan hendaknya mendisiplinkan pikirannya supaya jangan bercampur aduk dalam satu kalimat bentuk pasif (di) dengan bentuk aktif (me).

8.      Wartawan hendaknya menghindari kata-kata asing dan istilah-istilah yang terlalu teknis ilmiah dalam berita. Jika terpaksa menuliskannya, maka harus dijelaskan pengertian dan maksudnya.

9.      Wartawan hendaknya dapat menaati kaidah tata bahasa.

10.  Wartawan hendaknya ingat bahwa bahasa jurnalistik adalah bahasa yang komunikatif dan spesifik  sifatnya, dan karangan yang baik dinilai dati tiga aspek, yaitu isi, bahasa, dan teknik persembahan.

Menurut Prof. John Hohenberg dalam bukunya “The Professional Journalist” memuat sebuah model style book, diantaranya yang tidak boleh dalam penulisan berita (bahasa pers) adalahjangan menulis prosa yang tidak wajar, jangan menulis yang berlebih-lebihan. Jangan suntikkan pandangan pribadi ke dalam tulisan berita keculai diberi izin untuk itu. Jangan menggunakan kata ganti “saya” atau “kami”. Jangan mengganti waktu terus menerus dalam berita, kebanyakan berita ditulis paling baik dalam bentuk lampau (past tense) bagi surat-surat kabar, dan wktu sekarang (present tense) bagi media elektronik.[3]



[1] Drs. AS Haris Sumadirian. M.Si, Bahasa Jurnalistik, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008), hal. 192
[2] Ibid
[3] H. Rosihan Anwar, Bahasa Jurnalistik Indonesia dan Komposisi, (Yogyakarta: Media Abadi, 2004), Cet. IV, Hal. 153

Tidak ada komentar:

Posting Komentar