Jumat, 23 Mei 2014

Kerajinan Sanggar Primitif Mengukirkan Lagi Wajah Sejarah

“Saya pikir ketika sudah memahat dan melihat hasil karya sendiri, maka saya senang dan itu (karya pahatan.Red) bernilai budaya yang tinggi,” sesederhana itulah Oman Sumarna menjelaskan alasannya terus menekuni bidang seni pahat. Lewat Sanggar Primitif yang didirikannya, Oman memilih kayu sebagai medianya, dan primitif sebagai ciri khas karya pahatnya.
Di teras depan rumah Oman, beberapa kayu, alat-alat pahat, dan beberapa patung belum jadi, menjelaskan kesibukan yang terjadi tiap hari di sanggar itu. Betapa tidak, Oman mengerjakan semuanya sendiri. “Sudah sejak 1996 saya menekuni dunia pahat. Dulu, ada 16 orang yang ikut belajar memahat saat tinggal di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Tapi, saat pindah ke Sawangan, Depok pada 1998, mereka tak mau ikut. Jadilah saya sendiri yang meneruskan usaha,” Oman bercerita panjang lebar.
Oman Sumarna, saat ditemui di sanggarnya, di Jl Raya Muchtar, Gg Gandaria Rt 0402 No 75, Sawangan Lama, Depok.
Sanggar itu berlokasi di Jl Raya Muchtar, Gg Gandaria Rt 04/02 No 75, Sawangan  Lama, Depok. Sebagai petunjuk bagi tamunya, Oman menempelkan tulisan “Seni Pahat Sanggar Primitif Oman Sumarna” di depan pintu.
Tak berjalan mulus, Oman mengaku sempat mengalami kebangkrutan di tahun yang sama saat ia pindah ke Depok. Selain karena ditinggal teman-temannya, krisis moneter yang terjadi pun memperburuk keadaan. “Kejadian itu membuat saya merintis usaha ini dari awal lagi dan sampai sekarang masih bertahan walaupun banyak cerita jatuh bangunnya,” jelas ayah empat anak ini, saat ditemui disela-sela aktivitas memahatnya, Sabtu (22/03).
Memahat Untuk Belajar Sejarah
Di antara karya pahat Oman adalah patung dan lampu yang berasal dari ukiran kayu. Oman memahat dengan menggunakan alat pahat tradisonal dan memilih patung-patung bentuk primitif sebagai karyanya. “Karya primitif  tak dihargai di Indonesia, hanya ada di museum. Hal itu menunjukan, Indonesia tak mencintai budaya dan melupakan karya primitif yang seharusnya diketahui anak cucu kita,”  jelas pria asal asal Padalarang, Bandung Timur itu.
Patung primitif karya Oman Sumarna.
Diakui Oman, selama ini ia menyontoh karya primitif dari buku-buku berbahasa Inggris. Walaupun tak mengerti bahasanya, ia memerhatikan gambar-gambarnya. “Saya tak pernah belajar dengan siapa pun saat mulai memahat pertama kali. Hanya melihat dari buku-buku sejarah yang saya beli di Pasar Loak, atau buku-buku hadiah dari teman,” beber Oman. Ia mulai belajar memahat secara autodidak ketika pertama kali datang untuk menetap di Jakarta dan membuat sanggar primitif.
Awal mula merintis usaha ini, Oman mengaku tak mematok harga yang pasti. Dia hanya menghitung dari jenis ukiran, tingkat kesulitan, dan ukurannya saja.  Kisaran harga barang mulai Rp25.000 sampai Rp100 juta, tergantung motif dan besarnya barang. Misalnya patung penyu yang asli dari Kalimantan, maka tak sembarang orang bisa membelinya.
Dari Pemasaran Belum Maksimal Sampai Menyewa Toko
Di ITC Depok, ada galeri UKM yang dikelola Pemda. Dulunya, Oman ikut di dalamnya. Namun, karena tidak ada kemajuan, akhirnya setelah empat tahun dia ikut dari organisasi ini, Oman pun mengundurkan diri. “Tapi setelah itu, usaha saya mandek di tengah jalan,” ungkapnya.
Karena  kebutuhan menghidupi keluarga, Oman pun terus berusaha mempertahankan usaha kerajinan primitif  ini. “Pemasaran yang benar sangat saya harapkan. Jadi saat ini, saya mencari konsumen sendiri. Saya membuat blog danfacebook yang dibuatkan oleh anak saya, walaupun hasilnya juga belum memuaskan,” kata Oman.
Untuk saat ini, pesanan berasal dari toko-toko untuk mereka jual lagi, misal dari Kalimantan, Medan, Sumatra.  Ekspor juga sudah, tapi tidak kepadanya langsung, yaitu melalui Pasaraya Blok M dan Sarinah Tamrin untuk dikirim ke Jepang. “Jumlahnya terkadang 40-50 buah untuk suvenir. Tapi sistem upahnya adalah konsinyasi, jadi tiga bulan baru mendapatkan uang,” Oman menjelaskan.
Toko Oman Sumarna yang menjual berbagai karya patung primitif.
Beberapa karya Oman yang dipajang di toko.
Akhirnya, pada awal tahun 2014 Oman dan istri memutuskan menyewa sebuah toko di kawasan Jl Abdul Wahab, Sawangan Utara. Toko itu menjadi tempat karya Oman mulai dari patung, lampu, bahkan ada kaset-kaset zaman dulu dijual di sana. Oman dan istri bergantian setiap hari untuk menjaga toko. Jika  giliran istrinya yang menjaga, maka Oman akan memahat patung di rumah.
Oman Sumarna dan istri, pemilik Sanggar Primitif.
“Pada awal menyewa, saya hampir tak mempunyai pelanggan, tapi lama kelamaan saya mendapat penghasilan, walaupun tak setiap hari. Jadi, omzet yang saya hitung adalah yang penting tak kurang dari tiga juta rupiah, dan bisa menutupi uang sewa toko,” kata Oman.
Feature ini tayang di: Paradepok
21 Tulisan saya yang lain di Paradepok bisa ditengok di sini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar