Senin, 13 April 2015

Muslimah Backpacker, Muslimah Tangguh Dalam Perjalanan

Komunitas
Muslimah Backpacker


Setiap dari kita mungkin sudah tidak asing lagi dengan jalan-jalan, entah itu berjalan ke pasar dekat rumah sampai menjelajai luar negeri, agaknya sudah menjadi rutinitas hidup masyarakat saat ini. Karena setiap manusia pasti melakukan perjalanan, entah dekat atau jauh. Perjalanan bahkan sudah menjadi gaya hidup bagi sebagaian orang. Mereka sering melakukan perjalanan dengan gaya backpacking (budget murah) sampai jalan-jalan ala koper bagi yang berduit. Biasanya mereka para traveler atau backpacker melakukan perjalanan beregu atau berkelompok, dari berburu sunset di gunung, betemu ikan-ikan dengan snorkling di laut, sampai berfoto di depan monument atau bangunan bersejarah di dunia.

Hobi jalan-jalan itu yang membuat banyak orang membuat komunitas-komunitas backpacking demi mencari sahabat seperjalanan. Komunitas ini biasanya berasal dari beragam latar belakang, Mereka semua melakukan perjalanan, menikmati alam nusantara yang luas nan indah ini bahkan sampai keliling dunia.

Salah satu komunitas para backpacker yang konsisten bertahan sampai sekarang adalah Komunitas Muslimah Backpacker (MB). Dari namanya saja kita sudah bisa tahu, komunitas ini beranggotakan para msulimah yang hobi travelling, dan latar belakang mereka pun beragam. Ada yang ibu rumah tangga, pekerja kantoran, mahasiswa, dan lainnya. Ada puluhan komunitas backpacker di Indonesia, bahkan ratusan di dunia, yang unik dari MB adalah karena khusus perempuan saja, sehingga  mereka lebih nyaman berinteraksi dengan sesama backpacker perempuan. Namun untuk medan khusus seperti naik gunung dan snorkeling di laut dalam, MB minta didampingi beberapa laki-laki untuk keamanan, biasanya ditemani  oleh suami pendiri MB.

Bergabung dengan MB pun sangat mudah. Mereka para muslimah yang tertarik, cukup bergabung dalam grup MB di facebook: Muslimah Backpacker, otomatis sudah menjadi anggota MB. Tidak perlu mengisi formulir apapun.

MB berdiri sejak tanggal 23 Desember 2011 di Bandung, dengan perintis seorang perempuan penjelajah dunia, Imazahrah Fatimah. Saat ini anggota MB yang bergabung di grup facebook Muslimah Backpacker berjumlah 1240 orang. MB pun sudah backpack bersama ke Garut, Garut Selatan, Tasikmalaya, Kalimantan Selatan, Malang dan Bromo, keliling Mesir, jelajah Lombok (NTB), Wonosobo dan Dieng, jelajah Bandung dan Cimahi, Total perjalanan MB Trip yang sudah terselenggara sebanyak sembilan perjalanan. Rencana perjalanan terdekat tahun ini adalah pada  10-12 April 2015, MB akan backpack ke Gunung Kidul dan pantai-pantai Selatan.

Teh Ima, begitu sapaan akrabnya, mengaku hampir tidak ada kendala untuk mengelola komunitas ini. Karena anggota MB shalihah semua. Bahkan banyak hal uniknya, salah satunya adalah kebahagiaan bisa bertemu dengan para muslimah tangguh dalam perjalanan dan akhirnya menjadi sahabat hingga hari ini.



Melakukan Perjalanan Yang Bermanfaat
Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Mungkin ini peribahasa yang tepat untuk menggambarkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan MB di setiap perjalanannya. Selain tentunya melakukan perjalanan dengan menikmati alam, MB sering berbagi manfaat kepada masyarakat sekitar di tempat tujuan mereka. Karena itu di setiap perjalanan MB, mereka bisa menikmati alam sambil berbagi pengalaman dengan sesama anggota MB yang lain, dan juga memberi manfaat bagi masyarakat sekitar.

“Ciri khas MB yang belakangan tampaknya ditiru komunitas lain adalah book charity. Saya mewajibkan setiap anggota membawa buku anak-anak (usia SD) untuk nantinya dibagikan di lokasi MB trip. Biasanya bekerjasama dengan warga atau tetua setempat,” jelas Teh Ima.

Mulai 2012, MB juga rutin mengadakan Bakti Ramadhan, yaitu mengumpulkan dana bantuan secara online kemudian berinteraksi dengan kaum dhuafa terpilih (misal penampungan pemulung di Jakarta, panti asuhan di Bandung, pesantren penghafal Qur’an di Tasikmalaya dan lainnya) dalam wujud pengajian, mendongeng islami, membagikan sembako, alat tulis dan tas, baju koko dan mukena. Kegiatan ini biasa dilakukan di awal Ramadhan.

Selain kepada warga sekitar, MB juga menaruh perhatian kepada alam dan lingkungan sekitar. Hari Bumi, kata Teh Ima, menjadi hari yang penting untuk kembali merefleksikan diri untuk menjaga lingkungan kita. MB tidak bisa melakukan eksplorasi alam ciptaan Allah yang indah dan luar biasa ini jika alam sudah rusak karena ulah tangan manusia. Saat ulang tahun ke-3 MB yang diperingati dengan jelajah curug di Cimahi, MB sempat mengajak anggota peserta trip untuk memungut sampah yang bertebaran di area curug. Lalu mengusulkan pada pengelola curug untuk menyediakan tempat sampah di area curug, karena belum ada satupun tempat sampah yang disediakan.

“Jika ingin terus menikmati alam, kembalikanlah apa yang ada di alam. Misal menebang sebatang pohon tua, maka sebelum menebang tanamlah dua anak pohon. Saat mendaki gunung, sediakan kantong yang kuat (dari kain atau bahan lainnya) untuk memungut sampah di sepanjang perjalanan. Setelah turun gunung, buanglah sampah pada tempat sampah yang sudah disediakan. Gunung sudah semakin tua, jangan dikotori dengan sampah bawaan manusia. Sangat memalukan mengaku jadi pencinta alam tapi malah mengotori alam,” tambah perempuan yang sudah menjelah 32 negara ini.

Ingin Terus Berkarya dan Bermanfaat
Banyak sekali rencara ke depan yang akan dilakukan MB dan Teh Ima. Salah satunya, ia ingin menyelenggarakan umrah murah yang dilakukan lini bisnis yang ia kelola bersama suami, yaitu Kelana Cahaya Tour. Professional travel tour ini ia ciptakan sebagai bagian dari social entrepreneurship, sedangkan rencana jauh ke depan, setiap trip yang diadakan Kelana Cahaya Tour disisihkan dan ditabung. Jika sudah terkumpul rencananya untuk membeli tanah cukup luas yang akan dibangun ingin Rumah Pintar sekaligus pusat aktifitas social MB.

“Rencana terdekatnya, untuk Muslimah Backpacker, pertengahan tahun direncanakan menggandeng salah satu national company untuk mengadakan Travel Blogging and Travel Writing Forum,” tambah Teh Ima.

Sebagai seorang backpacker, Teh Ima juga memberikan saran bagi para penikmat perjalanan,  untuk membawa buku dalam ransel, letakkan bekal dalam wadah yang bisa dicuci dan tuliskan perjalanan di blog. Ini tiga hal luar biasa yang jika konsisten dilakukan akan sangat bermanfaat tidak hanya bagi alam tapi juga bagi para penghuni alam.
(Fauziah)

Terbit di Majalah Swara Cinta Edisi 49


Minggu, 12 April 2015

Sang Pembuat Stempel: Konsisten Pakai Cara Tradisional



Waktu itu pukul sepuluh pagi, seorang pria  paruh baya sedang asyik dengan bahan karet yang diukir dari pola-pola manual buatannya. Katanya, hari ini sedang ada pesanan untuk pembuatan stempel kantor Rukun Tetangga (RT). Dengan cekatan dan ketelitian, pria berkaca mata ini terus mengukir pola stempel di atas bahan karet itu setiap harinya dan tetap bertahan dengan cara tradisional seperti ini di tengah perkembangan tekonologi sekarang.

Adalah Garyono (46), pemilik salah satu kios jasa stempel di Depok, Jawa Barat. Kiosnya yang  bernama Karya Lestari ini tidak sendirian. Pasalnya, jika anda ke Depok dan bertandang ke Pasar Depok Jaya, maka anda akan menemukan deretan  kios-kios  jasa stempel dan percetakan tepat di sebrang pasar tersebut. Pria asal Slawi, Jawa Tengah ini mengaku sudah sejak tahun 1994 melakukan usaha stempel ini, dan bisa dikatakan, dialah pencetus deretan kios jasa pembuatan stempel yang berada di Jalan Raya Nusantara ini.

Konsisten dengan cara tradisional, kata Garyono, cara ini menjadi keunikan tersendiri bagi dirinya. Dia mengaku senang karena tetap bertahan dengan cara tradisional, meski banyak kios lain sudah menggunakan alat cetak (printer) untuk pembuatan stempel. Hal itu juga yang membuat para konsumen setianya yang berasal dari beragam kalangan, mulai dari ketua RT, pegawai pemerintah, sampai masyarakat biasa tetap menggunakan jasa pembuatan stempel tradisional yang bisa dikerjakan hanya dalam waktu satu sampai tiga jam ini. Harganya pun cukup murah, berkisar antara Rp 10.000 sampai Rp 20.000 saja tergantung kerumitan pola yang dipesan.

“Selama bertahun-tahun saya tetap menggunakan cara tradisional ini membuat saya menjadi langka dan dicari oleh para pelanggan yang butuh stempel cepat, karena pembuatannya mudah. Saya hanya harus menggambar pola di atas bahan karet, setelah selesai diberi pegangan kayu di atasnya,” jelas ayah dua anak ini.

Dengan menjalani usaha ini selama bertahun-tahun, dia mampu menghidupi isteri dan kedua anaknya. Saat ini anak pertamanya berusia 13 tahun sedang duduk di bangku kelas Sembilan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan anak keduanya sekarang berusia tujuh tahun dan bersekolah di kelas satu sekolah dasar. Garyono bersyukur, meski penghasilannya tidak menentu jumlah per bulannya, dia tetap optimis dan terus konsisten menekuni pekerjaan yang juga menjadi hobinya ini, yang ia pelajari secara otodidak dari para pengrajin seni pahat di kampungnya dahulu.

Setiap harinya dari pukul 07.30 sampai 19.30 WIB, Garyono membuka kios dan siap menerima pesanan stempel dari para konsumennya. Meski harus bersaing dengan banyak pemilik usaha serupa di tempat yang sama, dia tetap optimis dan mampu bertahan sekian lama. Selain menawarkan jasa pembuatan stempel, Garyono juga menerima jasa percetakan dan pembuatan banner, tapi untuk pekerjaan itu, dia bertukar jasa dengan kawannya pemilik usaha percetakan di tempat lain.
Garyono, memilih cara tradisional dan konsumen pun masih membutuhkan hasil karyanya


Tapi, tak jarang Garyono juga mengalami banyak kendala. Katanya, ada beberapa konsumen yang memaksa stempel harus selesai dengan cepat, tapi di sisi lain dia juga sedang mengerjakan stempel yang sudah dipesan dari konsumen beberapa hari lalu. Ketika itu terjadi, terkadang ia juga sering ditinggalkan konsumennya yang beralih ke kios yang lain.

“Meskipun harus bersaing dengan banyak pemilik kios yang lain, saya percaya rezeki sudah Allah atur. Karena itu, saya tetap bertahan menggunakan cara tradisional dan saya lebih suka dengan keterampilan tradisional seperti ini, dibandingkan harus bekerja dengan orang lain,” tambahnya.
Kata Garyono, lebih baik bekerja menjalani usaha sendiri dibandingkan menjadi pegawai atau pesuruh orang lain. Karena itu, pekerjaan ini bisa membuatnya menjadi bos dan tidak perlu disuruh orang lain. Perihal cara tradional yang tetap ia pertahankan, Garyono beralasan, ketika perkembangan teknologi semakin cepat, dia merasa barang-barang tradisional justru semakin dicari orang, karena unik dan bahkan harganya bisa menjadi lebih mahal.


 “Semoga usaha saya ini bisa terus maju dan bertahan, agar bisa menghidupi keluarga dan anak-anak bisa terus bersekolah,” harap Garyono. (Fauziah)

Terbit di Majalah Swara Cinta Dompet Dhuafa Republika Edisi 49

Sabtu, 11 April 2015

Menengok Mal Rongsok di Depok



Bagi masyarakat kota besar, mungkin pusat perbelanjaan bernama mal sudah tak asing lagi. Apalagi di Depok, Jawa Barat, terhitung ada empat Mal besar di pusat kota, belum lagi pusat perbelanjaan lain yang tersebar di beberapa wilayah. Banyaknya pilihan ini membuat masyarakat dengan mudah mengakses mal yang sesuai dengan selera dan kantong mereka.

Tapi, ada yang berbeda di salah satu mal di kawasan Jalan Raya Bungur, Kukusan, Beji, Depok, Jawa Barat. Mal yang terletak di pinggir jalan ini tak pernah sepi pengunjung. Seperti siang itu, meski hujan turun membasahi tanah kota belimbing ini, terlihat beberapa pembeli datang ke mal ini, ada yang hanya melihat-lihat, ada juga yang ingin menjual barang, dan mencari barang antik. Ya, di sini adalah mal rongsok, begitu nama yang diberika pemiliknya.

Bangunan dua lantai seluas 800 meter ini disulap Nurcholis Agi (48) menjadi mal yang menjual barang-barang bekas atau sering disebut rongsokan. Dia mengaku, ide awal membangun mal rongsok yang mulai beroperasi pada 2010 ini adalah karena dia sangat mencintai dunia bisnis. Awalnya, kata Nurcholis, dia sering berinteraksi dengan orang-orang penadah barang rongsokan, dan di sisi lain dia juga sering pergi berbelanja ke mal.

“Sebelumnya saya sudah pernah menekuni 28 jenis usaha selama ini, karena itu saya banyak belajar dari orang lain. Ide membuat mal rongsok ini pun muncul dan Alhamdulillah, sudah bisa bertahan sampai sekarang, “ jelas ayah lima anak ini.

 Uniknya, mal rongsok ini juga dikelola seperti mal di pusat kota, hanya saja barang yang dijualnya adalah barang lama. Karpet-karpet beragam warna dan motif dijadikan alas untuk lantai mal ini. Meski hanya berupa kipas angin sebagai pendingin ruangan, mal rongsok ini benar-benar didesain seperti mal sungguhan. Sang pemilik begitu apik menata ruangan, ini terlihat dari tata letak barang-barang yang dijual. Pada lantai pertama, beragam jenis rongsokan yang digantung dan dibaluti plastik menghiasi atap-atap. Selain itu, ada rak barang elektronik, seperti kamera, televisi, beragam jenis radio, komputer dan lainnya. Rak-rak buku bekas diletakkan di tengah ruangan, sedangkan rak paling belakang diisi dengan beragam jenis figura dan lukisan antik.

Begitu juga di lantai dua mal ini, semua tertata rapi. Lantai ini berisi beragam furniture bekas, mulai dari lemari sampai beragam jenis kursi. Pembeli pun menjadi mudah menemukan barang yang mereka cari. Untuk keamanan mal, Nurcholis juga memasang dua kamera CCTV untuk memantau kegiatan jual-beli di malnya ini. Meski berdebu dan usang, jika kita cukup jeli memilah-milih, banyak sekali barang-barang bekas yang masih layak pakai, seperti buku dan alat elektronik.
Add caption


Nurcholis Agi (48) pemilik Mall Rongsok memanfaatkan lahan seluas 800 meter untuk menampung produk-produk lawas miliknya.

Mal yang buka setiap hari mulai dari pukul 08.00 sampai pukul 18.00 WIB ini sedikitnya mempunyai 3000 jenis barang bekas yang dijual. Barang-barang tersebut biasanya berasal dari penadah barang bekas yang menjual lagi kepada Nurcholis. Kisaran harganya pun beragam, kata Nurcholis, itu tergantung dari jenis barang, keantikan barang, dan ukurannya. Harga barang-barang bekas di sini dijual dengan harga Rp 500 sampai Rp 15.000.000.

“Yang membedakan mal ini dengan mal yang lain adalah di sini pembeli juga bisa menjual barang bekas mereka. Kami akan membeli jika harganya cocok dan barangnya masih layak dijual lagi, biasanya kami menarik 10 % atau setengah harga normal, tergantung barangnya,” tambah Nurcholis.
Karena ada dua alur jual-beli seperti itu, mal ini tak pernah sepi pengunjung. Mereka pun berasal dari beragam latar belakang, ada para pelajar dan mahasiswa, ibu rumah tangga, sampai para lansia pensiunan yang menyukai barang-barang antik. Mal ini sudah mendapatkan tempat di hati konsumennya. Kata Nurcholis, banyak juga konsumennya yang berasal dari luar negeri, mereka sering ke mal ini jika sedang berada di Indonesia. Mereka berasal dari berbagai Negara, seperti Amerika, Jepang, dan Jerman, yang lebih sering membeli barang antik seperti lukisan. Inilah salah satu alasan, mal rongsok bisa terus bertahan sampai sekarang dengan omset sekitar Rp 100.000 sampai Rp 100 juta per bulannya.

“Semoga mal rongsok ini bisa terus berkembang, karena saya yakin jika ada kemauan, maka akan ada banyak jalan untuk mengambangkan usaha kita, “ harap Nurcholis, penerima penghargaan sebagai Executive and Entrepreneur of The Years 2014 oleh Lembaga Masyarakat Peduli Pariwisata (Lemppar) di Semarang, 17 Oktober 2014 ini. (Fauziah)