Rabu, 05 Februari 2014

SARJANA INSTANT MENURUNKAN MUTU PENDIDIKAN



S
aat ini jumlah perguruan tinggi di Indonesia mencapai 3070 buah, dengan 83 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) 2,7% dan 2.987 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) 97,3 5%. Jumlah tersebut sudah menghasilkan sebanyak 2,8 juta sarjana per tahun. Tapi, jumlah tersebut tidak dibarengi dengan kualitas dari lulusannya, sebagian sarjana masih ada yang menganggur. Fenomena sarjana instant pun muncul sebagai akibat dari keinginan mahasiswa untuk cepat selesai kuliah dan mendapatkan pekerjaan.

Cara instant bermunculan, mulai dari membeli karya ilmiah dari makelar skripsi sampai melakukan tindakan plagiarisme. Gelar sarjana yang umumnya harus ditempuh selama empat tahun, bisa dipercepat oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Hal tersebut menjadi perhatian semua pihak yang bisa mencoreng pendidikan Indonesia.

Menurut Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah, Nurul Hidayati, M.Pd, banyak cara yang dilakukan mahasiswa demi mencapai nilai dan meraih gelar sarjana, seperti menyontek ketika ujian, menyogok, memalsukan nilai, dan tanda tangan, serta tindakan plagiarisme. Nurul mengatakan mahasiswa yang melakukan hal-hal instant tersebut mereka yang tidak melihat ilmu pengetahuan sebagai kebenaran. Niat mereka belajar sudah berbelok, sehingga mereka melakukan apa saja demi gelar dan nilai.

“Nilai yang baik bukan satu-satunya acuan untuk menilai seorang mahasiswa atau sarjana itu berkulitas, banyak aspek lainnya, seperti jujur, mempunyai skill yang mumpuni, kreatif dan inovatif,” kata Nurul kepada Tangsel Pos, Selasa (12/02). “Mahasiswa jangan terbawa arus yang tidak baik, jika mereka bersikap jujur akan ada kepuasan batin tersendiri terhadap hasil yang mereka perjuangkan,” tambah Nurul.

Nurul menjelaskan, gelar sarjana seharusnya diraih dengan melakukan penelitian ilmiah. Penelitian yang menjadi syarat kelulusan tersebut harus bisa berkontribusi bagi masyarakat yang disusun secara sistematis, objektif, empiris, pragmatis, serta metodologi yang benar. Sedangkan untuk mengantisipasi cara-cara instant, menurut Nurul harus ada gerakan preventif dan hukuman bagi oknum tersebut.

Hal tersebut juga disampaikan Dekan Fakultas Dirosat Islamiyah, Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA., fenomena sarjana instant sebenarnya bukan isu baru, tapi belakangan ini muncul lagi. Menurutnya, sikap tegas harus diberlakukan bagi pelaku plagiarisme, sanksi yang dilakukan seperti mencabut ijazah dan membatalkan gelar menjadi langkah yang baik sesuai UU Pendidikan No. 20 tahun 2003. Perilaku-perilaku menempuh gelar sarjana dengan instant tersebut adalah kejahatan intelektual.

“Fenomena ini muncul akibat lemahnya pengawasan pemerintah terkait, atau adanya pembiaran oleh beberapa Perguruan Tinggi yang “sulit mencari mahasiswa” dalam rangka menjaga keberlangsungan perguruannya, sehingga dilakukanlah transaksi bisnis dalam dunia pendidikan,” jelas Abuddin, Rabu (13/02). Perguruan tinggi yang melakukan hal tersebut di kemudian hari akan ditinggalkan peminatnya, karena mutunya tidak terjaga.

Bagi Abuddin, cara yang harus ditempuh untuk mencegah perilaku instant tersebut dengan membuat badan satuan khusus pendidikan yang mengawasi berlangsungnya pendidikan di perguruan tinggi, seperti membuat dan mengawasi kode etik mahasiswa dan kode etik dosen. “UIN Syarif Hidayatullah sudah menerapkannya, seperti di Sekolah Pasca Sarjana, kami melarang keras tindak plagiarisme dengan berbagai tahap pengesahan sebelum gelar diberikan,” jelas Abuddin.

Abuddin menyarankan kepada mahasiswa untuk mengikuti saja prosedur yang ada sesuai dengan tahapan delapan semester dalam meraih gelar. Mereka seharusnya dibimbing dengan benar dan diawasi oleh berbagai pihak, mulai dari dosen sampai pihak program studi agar pembinaan tersebut terarah dan tidak menjadikan mereka melakukan hal-hal instant.

Lanjut Abuddin, profil lulusan perguruan tinggi harus sesuai dengan Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu Pertama, mereka melakukan pendidikan dan pengajaran sesuai ilmu yang mereka dapatkan. Kedua, melakukan penelitian. Mahasiswa harus menghasilkan suatu penelitian dan memiliki hak paten tingkat dunia. “Menurut hemat saya, dari sekitar 4.000-an PT di Indonesia, sarjananya hanya menghasilkan 419 hak paten penelitian per tahun. Kita seharusnya malu pada Singapura yang dengan puluhan PT saja bisa menghasilkan 10.000 hak paten per tahun,” tambahnya.

Ketiga, lanjut Abuddin, pengabdian bagi masyarakat sesuai bidang yang ditekuninya. Jika para mahasiswa tidak melakukan langkah-langkah instant mereka bisa mencapai ketiga cita-cita tersebut dan menjadi orang yang bermanfaat bagi masyarakat, bukan malah menurunkan mutu pendidikan itu sendiri. [] Fauziah Muslimah


*terbit di Harian Tangerang Selatan Post/ Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar