Selasa, 08 September 2015

Tradisi Meugang Masyarakat Aceh Yang Melegenda



Setiap hari raya tiba, semua masyarakat bersuka cita. Berbagai persiapan pun dilakukan, keluarga di tanah tantau pun akan kembali pulang, dan beragam makanan akan tersaji untuk perayaan. Seperti yang selalu dilakukan oleh masyarakat Aceh dan sudah menjadi tradisi di dua hari raya besar, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Tradisi ini bernama Meugang, yaitu tradisi rakyat Aceh menyambut Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha dengan menyembelih atau membeli daging sapi.

Tradisi Meugang sebenarnya sudah ada sejak Sultan Aceh. Dalam Undang-Undang Kesultanan Aceh dahulu, yang dikenal dengan Qanun Meukuta Alam yang disyarah Teuku  Di Mulek, dalam bab II pasal 5 Qanun Meukuta Alam disebut bahwa "Bila telah mendekati hari meugang, baik meugang puasa, meugang Lebaran, sebulan sebelum memasuki hari meugang , keuchik, imeum menasah, dan tuha peut di seluruh Aceh diwajibkan mendata di tiap kampung yang di pimpinnya, yang bertujaun untuk mengetahui jumlah fakir miskin, inong bale, yatim piatu, orang sakit lumpuh, dan tuna netra".

Semua yang telah didata tersebut akan di laporkan oleh Keuchik kepada Imam Mukim, lalu ke hulubalang, lalu akan di sampaikan kepada kadi dua puluh dua, dan seterusnya hingga sampai ke Sultan Aceh. Kemudian Sultan Aceh akan memerintah Tandi Siasatnya (ajudan Sultan) untuk membuka balai silahturahmi, lalu mengambil dirham dan kain serta membeli sapi untuk di sembelih pada hari meugang lalu akan di kirimkan kepada keuchik di seluruh Aceh  untuk dibagikan kepada yang berhak yang telah terdata sebelumnya.

Dalam banyak riwayat juga dikatakan,  Meugang pertama kali diperingati pada masa Kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin Sultan Iskandar Muda, yang berkuasa tahun 1607-1636 M. Istilah makmeugangdiatur dalam Qanun Meukuta Alam Al Asyi atau Undang-Undang Kerajaan. Kerajaan memerintahkan perangkat desa mendata warga miskin, kemudian diverifikasi oleh lembaga resmi (Qadhi) kesultanan untuk memilih orang-orang yang layak menerima daging. Sultan kemudian memotong banyak ternak. Dagingnya dibagikan kepada warga miskin secara gratis. Hal ini dilakukan sebagai wujud syukur dan bergembira menyambut Ramadhan dan hari raya.

 Pada hari Meugang lazimnya seluruh anggota keluarga berkumpul untuk makan-makan bersama dengan menu spesial masakan daging. Karenanya, ada juga yang menyebutkan Meugang dengan sebutan Uroe Pajoh-Pajoh (makan bersama). Karena itu, bisa dipastikan pada hari Meugang di setiap rumah orang Aceh akan tercium aroma masakan daging.

Pemuka umat muslim setempat mengatakan, tradisi warga makan dan memasak daging Meugang telah dilakukan sejak masa kesultanan Aceh abad ke empat belas, dan tradisi itu kini masih dilakukan turun temurun. Meugang memiliki nilai religius karena dilakukan di hari-hari suci umat Islam. Masyarakat Aceh percaya bahwa nafkah yang dicari selama 11 bulan wajib disyukuri dalam bentuk tradisi Meugang.

Sebelumnya, kalangan peneliti sejarah mengatakan, Meugang  merupakan tradisi warga Aceh memasak daging dan menikmatinya bersama keluarga, kaum dhuafa dan yatim piatu. Tradisi Meugang atau Makmeugang merupakan kegiatan menyembelih ternak, kambing, sapi dan kerbau, dilaksanakan setahun tiga kali, yakni awal puasa Ramadhan, lebaran baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Selain kambing kerbau dan sapi, masyarakat Aceh juga menyembelih ayam dan bebek. Tradisi Meugang di pedesaan  biasanya berlangsung beberapa hari sebelum bulan Ramadhan atau hari raya, sedangkan di kota berlangsung dua hingga tiga hari sebelum Ramadhan atau hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha).

Selain dinikmati bersama keluarga, tradisi Meugang ini juga dilakukan untuk menambah pahala di kegiatan sosial. Biasanya warga Aceh memasak daging di rumah, setelah itu membawanya ke Masjid untuk dimakan bersama, berbagi dengan tetangga, kaum dhuafa yatim piatu dan warga yang lain. (Fauziah)

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar