Jumat, 04 September 2015

Ketika Hewan Ternak Ikut Lomba



Kita sering meilhat di dunia hiburan banyak sekali kompetisi tentang kecantikan ataupun kegantengan. Di sana, para model dinilai dari cara berjalan, gaya busana, sampai bentuk fisik yang mumpuni, sehingga bisa menang. Tapi, apa jadinya jika kompetisi kecantikan ini pesertanya bukan para model seperti di dunia hibuarn itu, melainkan para hewan ternak. Tentunya, ada keseruan dan keunikan tersendiri ketika lomba bak model sungguhan ini dilakukan oleh hewan ternak sebagai pesertanya.

Seperti yang ditunjukan oleh ratusan ekor kambing peranakan Etawa dalam sebuah kontes di pasar hewan Kecamatan Berbek, Nganjuk, Jawa Timur. Kambing-kambing  itu diatur berjalan seperti berlengak-lengok  peragawati (model) di catwalk untuk mendapatkan predikat terbaik. Tidak main-main, kambing yang menjadi peserta adalah kambing Etawa, sebagai jenis kambing unggulan di daerah tersebut. Sesuai dengan harganya yang cukup fantastis, yaitu antara Rp15 juta hingga Rp50 juta kambing Etawa memang  istimewa. Badannya besar dan gagah, bulunya lebat seperti anjing peliharaan. Tak heran para pecinta kambing menyebutnya bukan lagi kambing ternak, tapi kambing hias.
Seekor kambing ikut konstes kecantikan di Nganjuk, Jawa Timur
 sumber foto:  ceritamu.com

Itulah alasan mayoritas dari para pecinta kambing Etawa  nekat membeli kambing-kambing ini bukan sekedar untuk diambil susu dan dagingnya, tetapi lebih pada unsur keindahan dan ketampanannya. Tiap kurun waktu tertentu, para pecinta kambing peranakan Etawa ini menggelar kontes yang berlangsung setiap tahun di Ngajuk, Jawa Timur.

Dalam kontes ini nilai kambing pemenang ditentukan oleh banyak hal. Di antaranya adalah faktor kebersihan, kesehatan, ukuran panjang telinga,  tinggi badan, panjang badan, kelengkapan dan kesehatan gigi, hingga keindahan bulu. Namun menang atau kalah bagi para peserta kontes tidak terlalu penting. Karena, hal yang paling penting bagi para pecinta kambing peranakan Etawa ini adalah  mereka bisa berkumpul dan saling berbagi ilmu dengan para pecinta kambing lain.

Selain itu mereka juga bisa mensosialisasikan kepada masyarakat tentang tingginya nilai ekonomis kambing Etawa. Baik dari segi kambingnya sebagai hewan ternak maupun susu yang dihasilkan. Karena  olahan susu kambing Etawa yang dikenal memiliki banyak keistimewaan kini tidak hanya bisa dinikmati dalam bentuk minuman saja, tapi  juga sudah berkembang dan diolah menjadi bahan kosmetik, seperti lulur atau sabun mandi.

Selain adu kecantikan, ternyata ada jenis lomba lain di Nusantara yang berkaitan dengan adu cepat. Seperti di Madura, Jawa Timur ada juga kompetisi bernama Karapan Sapi. Awal mula kerapan sapi dilatar belakangi oleh tanah Madura yang kurang subur untuk lahan pertanian, sebagai gantinya orang-orang Madura mengalihkan mata pencaharian mereka sebagai nelayan untuk daerah pesisir dan beternak sapi yang sekaligus digunakan untuk bertani khususnya dalam membajak sawah atau ladang.

Pada perlombaan ini, sepasang sapi yang menarik semacam kereta dari kayu (tempat joki berdiri dan mengendalikan pasangan sapi tersebut) dipacu dalam lomba adu cepat melawan pasangan-pasangan sapi lain. Trek pacuan tersebut biasanya sekitar 100 meter dan lomba pacuan dapat berlangsung sekitar sepuluh detik sampai satu menit.Beberapa kota di Madura menyelenggarakan karapan sapi pada bulan Agustus dan September setiap tahunnya, dengan pertandingan final pada akhir September atau Oktober di eks Kota Karesidenan, Pamekasan untuk memperebutkan Piala Bergilir Presiden.

Jika Madura ada Kerapan Sapi, maka Bali memiliki Makepung. Dua tradisi yang serupa tapi tak sama, namun menjadi tontonan unik yang segar sekaligus menghibur. Makepung, balap kerbau masyarakat Bali, yang dalam bahasa Indonesia berarti berkejar-kejaran, adalah tradisi berupa lomba pacu kerbau yang telah lama melekat pada masyarakat Bali, khususnya di Kabupaten Jembrana. Tradisi ini awalnya hanyalah permainan para petani yang dilakukan di sela-sela kegiatan membajak sawah di musim panen. Kala itu, mereka saling beradu cepat dengan memacu kerbau yang dikaitkan pada sebuah gerobak dan dikendalikan oleh seorang joki.

Kini, Makepung telah menjadi salah satu atraksi budaya yang paling menarik dan banyak ditonton oleh wisatawan termasuk para turis asing. Tak hanya itu, lomba pacu kerbau ini pun telah menjadi agenda tahunan wisata di Bali dan dikelola secara profesional. Karena terus berkembang, dalam sebuah perlombaan besar, Gubernur Cup misalnya, peserta Makepung yang hadir bisa mencapai sekitar 300 pasang kerbau atau bahkan lebih. Suasana pun menjadi sangat meriah dengan hadirnya para pemusik jegog (gamelan khas Bali yang terbuat dari bambu) untuk menyemarakkan suasana lomba.


Tak hanya di Nusantara, kompetisi unik untuk hewan ternak juga ada di luar negeri. Tepatnya di Tiongkok, Cina, ada perlombaan untuk kerbau yang juga bisa meningkatkan kreativitas seni para pemiliknya. Di daerah ini, kerbau memang   kerap digunakan petani untuk membantu membajak lahan pertanian. Namun saat ini, kerbau memiliki fungsi penting lainnya, yatu  pada saat kompetisi melukis tubuh kerbau.


Beberapa kegiatan Bufallo-body painting di luar negeri
sumber foto: Liputan6.com

Setiap tahunnya di pertengahan bulan Mei, Provinsi Jiangcheng, Tiongkok mengadakan kompetisi melukis tubuh kerbau. Kompetisi ini diselenggarakan di kota Pu’er yang telah mengadakan kompetisi lukis tubuh kerbau selama tiga tahun berturut-turut yang juga bertepatan dengan hari jadi Provinsi Jiancheng ke-60. Sejumlah seniman yang berasal dari 8 negara berkumpul di provinsi Jiangcheng, Tiongkok untuk mengambil bagian dalam kompetisi melukis tubuh kerbau internasional ini.

Sebanyak 48 kerbau air yang bagian tubuhnya telah ramai diwarnai oleh cat warna-warni cerah ikut serta dalam kompetisi Internasional ini. Setiap satu kerbau, lukisan di atas tubuhnya dikerjakan oleh satu grup yang berisi tiga hingga tujuh  seniman asal Cina, Inggris, Italia, Jerman, Finlandia, Selandia Baru, Vietnam dan Laos.

Pada 2014, tim lokal yang berasal dari sekolah anak-anak setempat berhasil memenangkan kompetisi kerbau hias tersebut dengan memenangkan hadiah uang sejumlah 100 ribu Yuan atau sekitar 190 juta Rupiah.
Sebagaimana sejarah di Tiongkok, tradisi mewarnai kerbau ini adalah  salah satu warisan budaya provinsi Jiancheng. Menurut cerita legenda setempat, jaman dahulu kala, sekumpulan kerbau yang tengah merumput di ladang diterkam oleh seekor harimau. Namun saat harimau tersebut menggigit, warna darah kerbau yang bercampur dengan lumpur rupanya membuat harimau tersebut takut dan melarikan diri. Hal itulah yang membuat para petani mulai mewarnai kerbau mereka untuk menghindari predator yang mengintai. Tradisi ini pun kemudian dikembangkan menjadi festival populer untuk merayakan panen dan menghormati hewan ternak. (Fauziah Muslimah)

Sumber:




Tidak ada komentar:

Posting Komentar