Masyarakat
di seantero Nusantara mungkin sudah akrab dengan prosesi pemotongan hewan,
entah itu dilakukan perorangan atau melalui lembaga resmi pemotongan hewan.
Prosesi pemotongannya pun biasa melakukan alat pemotong yang sangat tajam untuk
menebas perlahan leher hewan yang sebelumnya diikat kakinya dengan tali
tambang. Tujuan pemotongan hewan pun juga beragam, mulai dari untuk akikah anak
yang baru lahir sampai perayaan Hari Raya Idul Adha.
Akan
tetapi, ada yang berbeda dengan tradisi pemotongan hewan bagi warga Sumba, Nusa
Tenggara Timur (NTT). Sebuah ritual yang
langka dan jarang sekali dilakukan, itulah ritual Ka Nua. Tradisi ini merupakan ritual tertinggi untuk diterima
menjadi adat Bajawa dari salah satu Provinsi di NTT.
Ritual
dilakukan untuk peresmian sebuah kampung di daerah tersebut. Jika sebuah
kampung telah diresmikan lewat Ka Nua, kampung tersebut layak dianggap sebagai
kampung yang sempurna. Dalam ritual tersebut, ada 20 kerbau dan 120 babi yang
dijadikan persembahan. Acara dimulai dengan uma
moni, yaitu membuka ladang baru. Selanjutnya, nuka wole pare medo, yaitu mengantar hasil panen dari kebun ke
rumah adat.
Berikutnya,
kada kolo bhaga-raju madhu yang
merupakan peresmian rumah-rumahan mini di pusat kampung yang merupakan simbol
laki-laki (ngadhu) dan perempuan (bhaga). Setelah itu, dilakukan todo kabu keri, yaitu pemotongan ilalang
untuk menandakan rumah adat sudah diresmikan. Terakhir, ritual roko mata, dengan menyembelih kerbau
sebagai korban untuk menghormati leluhur.
Sebuah kampung baru dianggap layak menjadi bagian kehidupan tradisi Bajawa
jika telah menjalankan semua ritualtersebut. Namun, tahapan yang harus dipenuhi
memerlukan waktu puluhan tahun. Misalnya, di Pali Analoka, kampung seluas 1.000
meter persegi yang berpenduduk 180 orang itu mempunyai 12 rumah adat. Ke-12
rumah adat itu harus diresmikan lebih dulu dengan ritual di rumah adat
masing-masing, Ka Sao, baru dilakukan ritual Ka Nua.
Acara
tradisi Ka Nua ini juga berfungsi sebagai perekat hubungan kekerabatan suku.
Saudara-saudara mereka yang tinggal jauh, seperti di Kupang, Sumba, Denpasar,
Madura, Jakarta, bahkan Medan, akan berdatangan ke kampung. Kedatangan mereka
disambut dengan tarian khas Bajawa, Ja’i.
Tak lupa iringan musik etnik juga ikut terdengar yang disebut go (gong) dan laba (gendang). Para penari Ja’i,
memakai kain tenun lengkap dengan aksesori dan digunakan menyilang di dada serta
tas mungil bertali panjang.
Para
keluarga yang membawa buah tangan berupa hewan, akan melakukan sa ngasa, atau meneriakkan
kalimat-kalimat tentang pentingnya memelihara kekerabatan, begitu sampai di
pintu utama Kampung Pali Analoka.
Acara
yang tak kalah menarik adalah pemotongan hewan yang dijadikan jamuan, yaitu
kerbau. Perjamuan itu dianggap penting untuk mengikat tali silaturahmi antar
sesama. Hal lain yang spesial di acara ini adalah Suku Analoka yang menganut
adat bajawa percaya darah kerbau yang membasahi tanah kampung akan menjadikan
tanah subur.
Sayangnya, Ka Nua ini sudah mulai jarang dilakukan
warga setempat, bahkan hampir punah. Setelah 85 tahun berlalu,
akhirnya Ka Nua kembali digelar pada 29 Juni sampai 2 Juli di tahun 2010. Saat
itu kampung yang akan diresmikan adalah kampung di Pali Analoka, Desa Nenuwea,
Kecamatan Jerebu’u, Kabupaten Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur. (Fauziah)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar