Kita
sering meilhat di dunia hiburan banyak sekali kompetisi tentang kecantikan
ataupun kegantengan. Di sana, para model dinilai dari cara berjalan, gaya
busana, sampai bentuk fisik yang mumpuni, sehingga bisa menang. Tapi, apa
jadinya jika kompetisi kecantikan ini pesertanya bukan para model seperti di
dunia hibuarn itu, melainkan para hewan ternak. Tentunya, ada keseruan dan
keunikan tersendiri ketika lomba bak model sungguhan ini dilakukan oleh hewan
ternak sebagai pesertanya.
Seperti
yang ditunjukan oleh ratusan ekor kambing peranakan Etawa dalam sebuah kontes
di pasar hewan Kecamatan Berbek, Nganjuk, Jawa Timur. Kambing-kambing itu diatur berjalan seperti
berlengak-lengok peragawati (model) di catwalk untuk mendapatkan predikat
terbaik. Tidak main-main, kambing yang menjadi peserta adalah kambing Etawa,
sebagai jenis kambing unggulan di daerah tersebut. Sesuai dengan harganya yang
cukup fantastis, yaitu antara Rp15 juta hingga Rp50 juta kambing Etawa
memang istimewa. Badannya besar dan
gagah, bulunya lebat seperti anjing peliharaan. Tak heran para pecinta kambing
menyebutnya bukan lagi kambing ternak, tapi kambing hias.
Itulah
alasan mayoritas dari para pecinta kambing Etawa nekat membeli kambing-kambing ini bukan
sekedar untuk diambil susu dan dagingnya, tetapi lebih pada unsur keindahan dan
ketampanannya. Tiap kurun waktu tertentu, para pecinta kambing peranakan Etawa ini
menggelar kontes yang berlangsung setiap tahun di Ngajuk, Jawa Timur.
Dalam
kontes ini nilai kambing pemenang ditentukan oleh banyak hal. Di antaranya
adalah faktor kebersihan, kesehatan, ukuran panjang telinga, tinggi badan, panjang badan, kelengkapan dan
kesehatan gigi, hingga keindahan bulu. Namun menang atau kalah bagi para
peserta kontes tidak terlalu penting. Karena, hal yang paling penting bagi para
pecinta kambing peranakan Etawa ini adalah
mereka bisa berkumpul dan saling berbagi ilmu dengan para pecinta
kambing lain.
Selain
itu mereka juga bisa mensosialisasikan kepada masyarakat tentang tingginya
nilai ekonomis kambing Etawa. Baik dari segi kambingnya sebagai hewan ternak
maupun susu yang dihasilkan. Karena
olahan susu kambing Etawa yang dikenal memiliki banyak keistimewaan kini
tidak hanya bisa dinikmati dalam bentuk minuman saja, tapi juga sudah berkembang dan diolah menjadi
bahan kosmetik, seperti lulur atau sabun mandi.
Selain
adu kecantikan, ternyata ada jenis lomba lain di Nusantara yang berkaitan
dengan adu cepat. Seperti di Madura, Jawa Timur ada juga kompetisi bernama
Karapan Sapi. Awal mula kerapan sapi dilatar belakangi oleh tanah Madura yang
kurang subur untuk lahan pertanian, sebagai gantinya orang-orang Madura
mengalihkan mata pencaharian mereka sebagai nelayan untuk daerah pesisir dan
beternak sapi yang sekaligus digunakan untuk bertani khususnya dalam membajak
sawah atau ladang.
Pada
perlombaan ini, sepasang sapi yang menarik semacam kereta dari kayu (tempat
joki berdiri dan mengendalikan pasangan sapi tersebut) dipacu dalam lomba adu
cepat melawan pasangan-pasangan sapi lain. Trek pacuan tersebut biasanya
sekitar 100 meter dan lomba pacuan dapat berlangsung sekitar sepuluh detik
sampai satu menit.Beberapa kota di Madura menyelenggarakan karapan sapi pada
bulan Agustus dan September setiap tahunnya, dengan pertandingan final pada
akhir September atau Oktober di eks Kota Karesidenan, Pamekasan untuk
memperebutkan Piala Bergilir Presiden.
Jika
Madura ada Kerapan Sapi, maka Bali memiliki Makepung. Dua tradisi yang serupa
tapi tak sama, namun menjadi tontonan unik yang segar sekaligus menghibur. Makepung,
balap kerbau masyarakat Bali, yang dalam bahasa Indonesia berarti
berkejar-kejaran, adalah tradisi berupa lomba pacu kerbau yang telah lama
melekat pada masyarakat Bali, khususnya di Kabupaten Jembrana. Tradisi ini
awalnya hanyalah permainan para petani yang dilakukan di sela-sela kegiatan
membajak sawah di musim panen. Kala itu, mereka saling beradu cepat dengan
memacu kerbau yang dikaitkan pada sebuah gerobak dan dikendalikan oleh seorang
joki.
Kini,
Makepung telah menjadi salah satu atraksi budaya yang paling menarik dan banyak
ditonton oleh wisatawan termasuk para turis asing. Tak hanya itu, lomba pacu
kerbau ini pun telah menjadi agenda tahunan wisata di Bali dan dikelola secara
profesional. Karena terus berkembang, dalam sebuah perlombaan besar, Gubernur
Cup misalnya, peserta Makepung yang hadir bisa mencapai sekitar 300 pasang
kerbau atau bahkan lebih. Suasana pun menjadi sangat meriah dengan hadirnya
para pemusik jegog (gamelan khas Bali yang terbuat dari bambu) untuk
menyemarakkan suasana lomba.
Tak
hanya di Nusantara, kompetisi unik untuk hewan ternak juga ada di luar negeri.
Tepatnya di Tiongkok, Cina, ada perlombaan untuk kerbau yang juga bisa
meningkatkan kreativitas seni para pemiliknya. Di daerah ini, kerbau
memang kerap digunakan petani untuk
membantu membajak lahan pertanian. Namun saat ini, kerbau memiliki fungsi
penting lainnya, yatu pada saat
kompetisi melukis tubuh kerbau.
Setiap
tahunnya di pertengahan bulan Mei, Provinsi Jiangcheng, Tiongkok mengadakan
kompetisi melukis tubuh kerbau. Kompetisi ini diselenggarakan di kota Pu’er
yang telah mengadakan kompetisi lukis tubuh kerbau selama tiga tahun
berturut-turut yang juga bertepatan dengan hari jadi Provinsi Jiancheng ke-60. Sejumlah
seniman yang berasal dari 8 negara berkumpul di provinsi Jiangcheng, Tiongkok
untuk mengambil bagian dalam kompetisi melukis tubuh kerbau internasional ini.
Sebanyak 48
kerbau air yang bagian tubuhnya telah ramai diwarnai oleh cat warna-warni cerah
ikut serta dalam kompetisi Internasional ini. Setiap satu kerbau, lukisan di
atas tubuhnya dikerjakan oleh satu grup yang berisi tiga hingga tujuh seniman asal Cina, Inggris, Italia, Jerman,
Finlandia, Selandia Baru, Vietnam dan Laos.
Pada 2014,
tim lokal yang berasal dari sekolah anak-anak setempat berhasil memenangkan
kompetisi kerbau hias tersebut dengan memenangkan hadiah uang sejumlah 100 ribu
Yuan atau sekitar 190 juta Rupiah.
Sebagaimana
sejarah di Tiongkok, tradisi mewarnai kerbau ini adalah salah satu warisan budaya provinsi Jiancheng.
Menurut cerita legenda setempat, jaman dahulu kala, sekumpulan kerbau yang
tengah merumput di ladang diterkam oleh seekor harimau. Namun saat harimau
tersebut menggigit, warna darah kerbau yang bercampur dengan lumpur rupanya
membuat harimau tersebut takut dan melarikan diri. Hal itulah yang membuat para
petani mulai mewarnai kerbau mereka untuk menghindari predator yang mengintai.
Tradisi ini pun kemudian dikembangkan menjadi festival populer untuk merayakan
panen dan menghormati hewan ternak. (Fauziah Muslimah)
Sumber:
http://news.okezone.com/read/2011/05/07/340/454308/ratusan-kambing-ikut-kontes-kecantikan-di-nganjuk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar