Setiap
hari raya tiba, semua masyarakat bersuka cita. Berbagai persiapan pun
dilakukan, keluarga di tanah tantau pun akan kembali pulang, dan beragam
makanan akan tersaji untuk perayaan. Seperti yang selalu dilakukan oleh
masyarakat Aceh dan sudah menjadi tradisi di dua hari raya besar, yaitu Idul
Fitri dan Idul Adha. Tradisi ini bernama Meugang,
yaitu tradisi rakyat Aceh menyambut Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya
Idul Adha dengan menyembelih atau membeli daging sapi.
Tradisi
Meugang sebenarnya sudah ada sejak
Sultan Aceh. Dalam Undang-Undang Kesultanan Aceh dahulu, yang dikenal dengan
Qanun Meukuta Alam yang disyarah
Teuku Di Mulek, dalam bab II pasal 5
Qanun Meukuta Alam disebut bahwa
"Bila telah mendekati hari meugang, baik meugang puasa, meugang Lebaran,
sebulan sebelum memasuki hari meugang , keuchik, imeum menasah, dan tuha peut
di seluruh Aceh diwajibkan mendata di tiap kampung yang di pimpinnya, yang
bertujaun untuk mengetahui jumlah fakir miskin, inong bale, yatim piatu, orang
sakit lumpuh, dan tuna netra".
Semua
yang telah didata tersebut akan di laporkan oleh Keuchik kepada Imam Mukim,
lalu ke hulubalang, lalu akan di sampaikan kepada kadi dua puluh dua, dan
seterusnya hingga sampai ke Sultan Aceh. Kemudian Sultan Aceh akan memerintah
Tandi Siasatnya (ajudan Sultan) untuk membuka balai silahturahmi, lalu
mengambil dirham dan kain serta membeli sapi untuk di sembelih pada hari
meugang lalu akan di kirimkan kepada keuchik di seluruh Aceh untuk dibagikan kepada yang berhak yang telah
terdata sebelumnya.
Dalam
banyak riwayat juga dikatakan, Meugang pertama kali diperingati pada
masa Kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin Sultan Iskandar Muda, yang berkuasa
tahun 1607-1636 M. Istilah makmeugangdiatur dalam Qanun Meukuta Alam Al Asyi
atau Undang-Undang Kerajaan. Kerajaan memerintahkan perangkat desa mendata
warga miskin, kemudian diverifikasi oleh lembaga resmi (Qadhi) kesultanan untuk
memilih orang-orang yang layak menerima daging. Sultan kemudian memotong banyak
ternak. Dagingnya dibagikan kepada warga miskin secara gratis. Hal ini
dilakukan sebagai wujud syukur dan bergembira menyambut Ramadhan dan hari raya.
Pada hari Meugang
lazimnya seluruh anggota keluarga berkumpul untuk makan-makan bersama dengan
menu spesial masakan daging. Karenanya, ada juga yang menyebutkan Meugang dengan sebutan Uroe Pajoh-Pajoh
(makan bersama). Karena itu, bisa dipastikan pada hari Meugang di setiap rumah orang Aceh akan tercium aroma masakan
daging.
Pemuka
umat muslim setempat mengatakan, tradisi warga makan dan memasak daging Meugang telah dilakukan sejak masa
kesultanan Aceh abad ke empat belas, dan tradisi itu kini masih dilakukan turun
temurun. Meugang memiliki nilai
religius karena dilakukan di hari-hari suci umat Islam. Masyarakat Aceh percaya
bahwa nafkah yang dicari selama 11 bulan wajib disyukuri dalam bentuk tradisi
Meugang.
Sebelumnya,
kalangan peneliti sejarah mengatakan, Meugang merupakan tradisi warga Aceh memasak daging
dan menikmatinya bersama keluarga, kaum dhuafa dan yatim piatu. Tradisi Meugang atau Makmeugang merupakan
kegiatan menyembelih ternak, kambing, sapi dan kerbau, dilaksanakan setahun
tiga kali, yakni awal puasa Ramadhan, lebaran baik Idul Fitri maupun Idul Adha.
Selain kambing kerbau dan sapi, masyarakat Aceh juga menyembelih ayam dan bebek.
Tradisi Meugang di pedesaan biasanya berlangsung beberapa hari sebelum
bulan Ramadhan atau hari raya, sedangkan di kota berlangsung dua hingga tiga
hari sebelum Ramadhan atau hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha).
Selain
dinikmati bersama keluarga, tradisi Meugang ini juga dilakukan untuk menambah
pahala di kegiatan sosial. Biasanya warga Aceh memasak daging di rumah, setelah
itu membawanya ke Masjid untuk dimakan bersama, berbagi dengan tetangga, kaum
dhuafa yatim piatu dan warga yang lain. (Fauziah)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar