Sebagaimana dilansir
dalam buku Laporan Program Lingkunagn PBB (UNEP’s Year Book) 2012 menjelaskan bahwa
pada 25 tahun terakhir, 24% wilayah daratan dunia telah mengalami penurunan kualitas dan produktivitasnya. Tak lain dan tak bukan,
sebabnya adalah cara kita memanfaatkan lahan dan
mengolahnya, sembarangan menebang pohon sampai terjadi kerusakaan hutan, belum lagi polusi udara. Jika hal ini tak dapat dicegah, maka bisa
diperkirakan pada tahun 2030 lahan di dunia hanya berupa lahan
garapan, dengan matinya para habitat darat bahkan laut,
mungkin saja hijaunya pohon sudah menjadi barang langka di masa itu.
Isu-isu lingkungan itu menjadi konsen kita bersama. Apalagi mahasiswa sebagai
agen of change—pembawa perubahan bangsa. Tentunya isu-isu lingkungan ini harus
dikabarkan kepada maasyarakat secara luas, agar
penangannya meluas juga. Di sinilah muncul sang pilar demokrasi—pers.
Pers atau media sebagai penyampai pesan atau
informasi secara luas dapat mengambil perannnya dalam menyoroti
khusus pada permasalahan dan solusi lingkungan saat ini. Belum lama ini lahirnya “Jurnalisme Hijau (Green Journalism)” dari rahim jurnalisme di Indonesia menjadi kegembiraan tersendiri. Ragam baru jurnalisme ini
menjadi sangat berarti karena sebagi pembuktian para
jurnalis yang harus peka terhadap pemasalahan di masyarakat—dalam hal ini lingkungan.
Entah kapan lahirnya
jurnalisme yang lebih dikenal dengan jurnalisme lingkungan ini. Tidak ada data
pasti dari buku maupun media online. Jurnalisme ini sepertinya hadir dan terus
berkembang di masyarakat memang untuk mewadahi permasalahn lingkungan, selain
untuk mendukung upaya-upaya aktivis lingkungan melalui programnya selama ini, “Go
Green”.
Journo
mengintip
salah satu komunitas yang sejak 2011
menganut paham Jurnalisme Hijau ini. Walaupun usinya masih muda, program yang
dicanangkan mereka patut diacungi jempol, benar-benar fokus pada pendidikan
kegiatan jurnalistik plus hijau—mengenai lingkungan. GeenJo, itulah nama komunitas yang berdiri pada 5 juni 2011. Komunitas
ini didirikan oleh para jurnalis, aktivis lingkungan, dan para akademisi,
termasuk mahasiswa. Komunitas dengan visi menyelamatkan lingkungan ini
bermarkas di Aceh, Sumatra. Kamu bisa silaturahmi ke website mereka di http://green-journalist.org/?page_id=28
Nah, kalau yang satu
ini yang paling tua usianya, The Society
of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) atau Masyarakat Jurnalis Lingkungan
Indonesia adalah lembaga nirlaba yang lahir pada tahun 2006 oleh 45 jurnalis.
Komunitas ini bermula dari perkumulan para jurnalis itu di tepi Taman Nasional
Gunung Leuser, Sumatra Utara. Organisasi ini adalah oraginsasi jurnalis peduli
lingkungan pertama yang memiliki keanggotaan tersebar di seluruh
Indonesia. Organisasi dengan visi utama untuk meningkatakan kulaitas peliputan
jurnalis lingkungan hidup di Indonesia melalui berbagai pelatihan, diskusi
dengan pakar lingkungan, dan beasiswa bagi para jurnalis ini mendapat bantuan
serta kerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Jakarta, Internews
dan berbagai lembaga lainnya. Kawan Journo
bisa kunjungi website mereka di www.siej.or.id
. Bisa dibilang inilah leader and founder dari paham “Jurnalisme Hijau”.
Lebih dekat, kita
‘intip’ komunitas di kampus tentangga, baru-baru ini Suara Mahasiswa
Universitas Indonesia (SUMA UI) mengadakan sebuah acara peliputan jurnalistik
yang melibatkan mahasiswa se-Jabodetabek
dengan mengusung tema : “Jurnalisme
Lingkungan :Menangkap Isu Lingkungan di SekitarKampus” yang bekerja sama dengan The Society of
Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dan MAJALAH JEJAK (Mapala UI).
Jika kita lihat lebih mendalam—bukan hanya mengintip, banyak
komunitas di banyak daerah sudah menganut paham jurnalisme hijau ini. Apalagi
mahasiswa yang turut serta turun ke lapanganan dalam menggunakan paham baru ini. Sungguh nantinya, kegiatan melipuat dan
mengabarkan berita oleh para jurnalis tidak hanya melulu soal politik yang tak
ada habis-habisnya, tapi juga pada permasalahan lingkungan yang kian memprihatinkan.
Sebagaimana Athifa Rahmah, mahasiswi semester lima
konsentrasi jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyatakan jurnalisme hijau harus hadir dengan
mendepankan isu-isu mengenai masalah-masalah lingkungan saat ini, agar
masyarakat awam bisa lebih peduli terhadap lingkungannya. “Misalnya
permasalahan penebangan hutan, yasudah liput dan kabarkan masalah itu dengan data yang valid, dan juga bisa didukung
dengan petisi. Saya berharap dengan adanya jurnalisme hijau ini bisa
menganalisa masalah-masalah lingkungan namun disertai dengan solusinya, agar
tidak hanya asal kritik saja”, jelas Athifa, mahasiswi yang juga aktif di Komunitas
Mahasiswa Pecinta Lingkungan Hidup dan Kemanusiaan Kembara Ibnu Batutta (KMPLHK
RANITA) UIN Jakarta ini.
Agaknya ini bukan hanya harapan Athifa Rahmah, tapi juga
harapan kita semua. Kawan Journo yuk
ah kita lebih peduli lingkungan kita,
dengan jurnalisme hijau atau bukan yang penting berdampak baik bagi lingkungan.
Dari hal kecil, mulai sekarang buang
sampah pada tempatnya lah, kita tunjukan sifat berbudi bagi lingkungan kita.
Semoga. Duh, Journo jadi ingat lirik lagunya Om Ebiet G. Ade deh:
Mungkin Tuhan mulai bosan... melihat
tingkah kitayang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa...
Atau alam mulai enggan, bersahabat
dengan kita... Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang...
Dari Berbagai Sumber
Reporter: Fauziah Muslimah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar