Feature Human Interest
Senja
Jakarta datang di peraduannya. Hiruk pikuk manusia belum mau terhenti walaupun
langit Jakarta sudah mulai menguning. Rutinitas hidup yang sudah dipilihkan
Tuhan atau memang tidak diusahakan untuk lebih dari sekedar makan karena hidup
memang pilihan. Begitu juga dengan Rusdi (13). Anak seorang pemulung di kawasan
kampong Gunung Balong Jakarta Selatan.
Sehari-hari
dia hidup di antara lautan, bukan lautan nan indah seperti laut Kuta di Bali,
atau pasir putih nan indah di sekelilingnya. Lautan sampah. Rusdi dan warga kampung
yang lain sudah hidup bertahun-tahun di sini. Hidup di lautan sampah yang
datang dari pelosok rumah nan megah milik penghuni kota Jakarta. Sungguh miris,
karena di sekelilingnya ada beberapa gedung mewah tegak berdiri.
Rusdi
yang hanya ikut pendidikan bagi para pemulung dan anak jalanan itu setiap
harinya membantu ayahnya menimbang hasil sampah-sampah yang bisa bernilai jual,
seperti kardus, dan bekas botol minuman kemasan. Penghasilan yang dia dapat
juga tidak seberapa.
Untuk
mensiasatinya, keluarga Rusdi membuka warung kecil-kecilan di depan rumahnya
yang hanya terdiri dari dua kamar. Penghasilan dari warung ini, setidaknya bisa
mencukupi kebutuhan Rusdi dan adik perempuannya (5) mengikuti sekolah anak
jalanan bernama Sanggar Anak Alam.
Kehidupan
para warga di lapak sampah ini tidak berhenti sedari pagi. Mulai pagi hari
mereka mengais rezeki dengan “berdinas”. Itulah sebutan pekerjaan mereka, yang
adalah bahasa tutur warga penghalusan dari kata memulung. Tidak Rusdi atau
bahkan warga yang lainnya berharap hidup seperti ini. Akan tetapi mereka tetap
menjalaninya dengan ikhlas dan penuh tanggung jawab.
Ini
terlihat pada akhir senja hari, Rusdi dan beberapa warga tetap asyik dengan pekerjaannya,
mengolah sampah. Sebagian ada yang menimbang-nimbang sampah yang bisa dijual,
dan sebagian yang lain mengumpulkan sampah dari gerobak-gerobak yang berjejer
rapi di depan tumpukan sampah.
Biasanya
Rusdi memulung di daerah sekitar terminal Lebak Bulus. Dia berangkat dari pukul
13.00 siang dan menyelesaikan tugasnya
hingga pukul delapan malam hanya demi mengais keuntungan dari sampah-sampah
yang dibuang para warga Jakarta.
Penghasilan
Rusdi tidak banyak, hanya lima ratus ribu sebulan. Itu pun dia dan keluarganya
cukupkan untuk membayar hutang dan rumah kontrakkan dua kamar yang ditempatinya
sekarang. “Hidup di sampah-sampah seperti ini siapa yang mau. Tapi mau
bagaimana lagi, saya ikut orang tua saja. Terima nasib”, tutur Rusdi yang sekarang
menginjak sekolah non formal setingkat dua SMP.
Kampong
Gunung Balong, kampong lapak sampah di kawasan Cilandak Jakarta Selatan. Kampung
ini ditinggali oleh puluhan keluarga yang mata pencahariannya pemulung dan
pengamen. Warga di sini terlihat sudah kebal dengan bau-bau tidak sedap yang
hadir di lingkungan rumah-rumah mereka. Waluapun mereka tahu ini tidak baik
untuk pernafasan, apalagi bagi anak-anak.
Hidup
di tempat yang untuk menghirup udara segar saja bagaikan mimpi ini memang
sulit. Akan tetapi, terlihat anak-anak balita tetap asyik bermain dengan
sampah-sampah apa saja yang bisa mereka mainkan. Mereka tidak gusar dengan bau
yang ada, lalat-lalat dan kucing-kucing yang juga ikut menemani acara bermain
mereka di lapak sampah-sampah itu.
Inilah
potret kemiskinan bangsa kita. Siapa yang salah jika kemiskinan sudah menjadi
barang yang selalu ada dan dapat kita lihat dimana-mana.seperti kampung Gunung
Balong ini. Peran pemerintah seharusnya bisa lebih aktif lagi demi memberantas
kemiskinan sampai ke akar-akarnya.
“Mudah-mudahan
di Indonesia tidak ada lagi orang miskin dan pemerintah bisa lebih tegas lagi
memberantas kemiskinan”, curahan harapan Rusdi anak pemulung yang bercita-cita
menjadi pemain sepak bola itu. Tidak hanya Rusdi, tetapi juga harapan seluruh
rakyat miskin di Negara ini yang mempunyai Undang-Undang Dasar pasal 34,
berisikan bahwa orang miskin dan anak-anak terlantar menjadi tanggungan Negara.
Fauziah
Muslimah (1110051100059)
Jurnalistik
III B
Tidak ada komentar:
Posting Komentar