Setiap organisasi profesi terikat kewajiban untuk
senantiasa memberikan pembekalan, pelatihan, dan pencerahan kepada anggotanya
secara periodik. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), sebagai salah satu
organisasi profesi tertua dan terbesar di Indonesia, tak terkecuali terikat
pula pada ketentuan tersebut. Oleh karenanya, pada kurun waktu 1977-1979
melakukan pelatihan wartawan.[1]
Hasilnya dituangkan dalam sejumlah pedoman
penulisan, antara lain: pedoman penulisan bahasa pers, pedoman penulisan teras
berita, pedoman penulisan tentang hukum, pedoman penulisan bidang agama,
pedoman penulisan bidang koperasi, pedoman penulisan pertanian dan bidang
perburuhan. [2]
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Jakarta, 10
November 1978 mengeluarkan sepuluh
pedoman pemakaian bahasa dalam pers, yaitu: (H. Rosihan Anwar, 2004: 148-150)
1. Wartawan
hendaknya melaksanakan pedoman ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan, agar
tidak ada kesalahan penggunaan ejaan dalam penulisan.
2. Wartawan
hendaknya membatasi diri dalam singakatan atau akronim. Jika ada, maka ia harus
menjelaskan dalam tanda kurung kepanjangan akronim tersebut.
3. Wartawan
hendaknya tidak menghilangkan imbuhan, bentuk awal atau prefiks. Pemenggalan
kata awalan me dapat dilakukan dalam
kepala berita jangan sampai ke tubuh berita.
4. Wartawan
hendaknya menulis dengan kalimat-kalimat pendek. Pengutaraannya harus logis,
teratur, lengkap dengan kata pokok, sebutan, dan kata tujuan (subjek, predikat,
objek).
5. Wartawan
hendaknya menjauhkan diri dari ungkapan klise atau stereotype yang sering dipakai dalam transisi berita seperti kata,
dalam rangka, sementara itu, dapat ditambahkan, dan perlu diketahui.
6. Wartawan
hendaknya menghilangkan kata mubazir, seperti adalah, dari, bahwa dan bentuk
jamak yang tidak perlu diulang.
7. Wartawan
hendaknya mendisiplinkan pikirannya supaya jangan bercampur aduk dalam satu
kalimat bentuk pasif (di) dengan bentuk aktif (me).
8. Wartawan
hendaknya menghindari kata-kata asing dan istilah-istilah yang terlalu teknis
ilmiah dalam berita. Jika terpaksa menuliskannya, maka harus dijelaskan
pengertian dan maksudnya.
9. Wartawan
hendaknya dapat menaati kaidah tata bahasa.
10. Wartawan
hendaknya ingat bahwa bahasa jurnalistik adalah bahasa yang komunikatif dan
spesifik sifatnya, dan karangan yang
baik dinilai dati tiga aspek, yaitu isi, bahasa, dan teknik persembahan.
Menurut Prof. John Hohenberg dalam bukunya “The
Professional Journalist” memuat sebuah model
style book, diantaranya yang tidak boleh dalam penulisan berita (bahasa
pers) adalahjangan menulis prosa yang tidak wajar, jangan menulis yang
berlebih-lebihan. Jangan suntikkan pandangan pribadi ke dalam tulisan berita
keculai diberi izin untuk itu. Jangan menggunakan kata ganti “saya” atau “kami”.
Jangan mengganti waktu terus menerus dalam berita, kebanyakan berita ditulis
paling baik dalam bentuk lampau (past
tense) bagi surat-surat kabar, dan wktu sekarang (present tense) bagi media elektronik.[3]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar