Bagi masyarakat kota besar, mungkin pusat perbelanjaan bernama mal
sudah tak asing lagi. Apalagi di Depok, Jawa Barat, terhitung ada empat Mal
besar di pusat kota, belum lagi pusat perbelanjaan lain yang tersebar di beberapa
wilayah. Banyaknya pilihan ini membuat masyarakat dengan mudah mengakses mal
yang sesuai dengan selera dan kantong mereka.
Tapi, ada yang berbeda di salah satu mal di kawasan Jalan Raya
Bungur, Kukusan, Beji, Depok, Jawa Barat. Mal yang terletak di pinggir jalan
ini tak pernah sepi pengunjung. Seperti siang itu, meski hujan turun membasahi
tanah kota belimbing ini, terlihat beberapa pembeli datang ke mal ini, ada yang
hanya melihat-lihat, ada juga yang ingin menjual barang, dan mencari barang antik.
Ya, di sini adalah mal rongsok, begitu nama yang diberika pemiliknya.
Bangunan dua lantai seluas 800 meter ini disulap Nurcholis Agi (48)
menjadi mal yang menjual barang-barang bekas atau sering disebut rongsokan. Dia
mengaku, ide awal membangun mal rongsok yang mulai beroperasi pada 2010 ini
adalah karena dia sangat mencintai dunia bisnis. Awalnya, kata Nurcholis, dia
sering berinteraksi dengan orang-orang penadah barang rongsokan, dan di sisi
lain dia juga sering pergi berbelanja ke mal.
“Sebelumnya saya sudah pernah menekuni 28 jenis usaha selama ini,
karena itu saya banyak belajar dari orang lain. Ide membuat mal rongsok ini pun
muncul dan Alhamdulillah, sudah bisa bertahan sampai sekarang, “ jelas
ayah lima anak ini.
Uniknya, mal rongsok ini
juga dikelola seperti mal di pusat kota, hanya saja barang yang dijualnya
adalah barang lama. Karpet-karpet beragam warna dan motif dijadikan alas untuk
lantai mal ini. Meski hanya berupa kipas angin sebagai pendingin ruangan, mal
rongsok ini benar-benar didesain seperti mal sungguhan. Sang pemilik begitu
apik menata ruangan, ini terlihat dari tata letak barang-barang yang dijual.
Pada lantai pertama, beragam jenis rongsokan yang digantung dan dibaluti
plastik menghiasi atap-atap. Selain itu, ada rak barang elektronik, seperti
kamera, televisi, beragam jenis radio, komputer dan lainnya. Rak-rak buku bekas
diletakkan di tengah ruangan, sedangkan rak paling belakang diisi dengan
beragam jenis figura dan lukisan antik.
Mal yang buka setiap hari mulai dari pukul 08.00 sampai pukul 18.00
WIB ini sedikitnya mempunyai 3000 jenis barang bekas yang dijual. Barang-barang
tersebut biasanya berasal dari penadah barang bekas yang menjual lagi kepada
Nurcholis. Kisaran harganya pun beragam, kata Nurcholis, itu tergantung dari
jenis barang, keantikan barang, dan ukurannya. Harga barang-barang bekas di
sini dijual dengan harga Rp 500 sampai Rp 15.000.000.
“Yang membedakan mal ini dengan mal yang lain adalah di sini
pembeli juga bisa menjual barang bekas mereka. Kami akan membeli jika harganya
cocok dan barangnya masih layak dijual lagi, biasanya kami menarik 10 % atau
setengah harga normal, tergantung barangnya,” tambah Nurcholis.
Karena ada dua alur jual-beli seperti itu, mal ini tak pernah sepi
pengunjung. Mereka pun berasal dari beragam latar belakang, ada para pelajar dan
mahasiswa, ibu rumah tangga, sampai para lansia pensiunan yang menyukai
barang-barang antik. Mal ini sudah mendapatkan tempat di hati konsumennya. Kata
Nurcholis, banyak juga konsumennya yang berasal dari luar negeri, mereka sering
ke mal ini jika sedang berada di Indonesia. Mereka berasal dari berbagai
Negara, seperti Amerika, Jepang, dan Jerman, yang lebih sering membeli barang antik
seperti lukisan. Inilah salah satu alasan, mal rongsok bisa terus bertahan
sampai sekarang dengan omset sekitar Rp 100.000 sampai Rp 100 juta per
bulannya.
“Semoga mal rongsok ini bisa terus berkembang, karena saya yakin
jika ada kemauan, maka akan ada banyak jalan untuk mengambangkan usaha kita, “
harap Nurcholis, penerima penghargaan sebagai Executive and Entrepreneur of
The Years 2014 oleh Lembaga Masyarakat Peduli Pariwisata (Lemppar) di
Semarang, 17 Oktober 2014 ini. (Fauziah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar